Selasa, 15 Maret 2011

Bersekutu, Ya! Tapi Beribadah???

 Introspeksi Ibadah Jemaat Protestan

ibadah protestan
"KAMI DATANG UNTUK MENYEMBAH DIA." (Matius 2:2c). Ini adalah pernyataan orang-orang Majus. Jauh-jauh dari Timur ke Yerusalem mencari bayi, Sang Juruselamat dunia, untuk menyembah Dia.

Demikian halnya IBADAH. Tujuan utama Ibadah, sama seperti yang dinyatakan oleh para Majus, yakni "UNTUK MENYEMBAH DIA". Teorinya demikan, tetapi apakah dalam prakteknya juga umumnya demikian?


SEBAGAI SEORANG PROTESTAN, saya akhirnya berpendapat bahwa tidaklah heran bila ada orang Kristen yang tidak se-denominasi mengeluarkan statement bahwa tidak ada Roh di dalam ibadah gereja Protestan. Saya kira pernyataan ini tidak berdefinisi gereja Protestan tidak punya Roh Kudus - sebab saya tahu yang berpendapat ini tidak sebodoh itu - , tetapi bahwa kondisi ibadah kita secara umum tampak seakan-akan tidak ber-Roh. Mengapa bisa demikian?

Dimulai dengan pertanyaan: Roh Kudus itu ada di mana? Di gedung, di jalan, di rumah atau? Roh Kudus itu ada di dalam orang percaya (a.l. Rm 8:11; Gal 4:6; 1 Yoh 4:4). Roh Kudus terasa dan terlihat kuasa-Nya tergantung pada pribadi-pribadi orang yang punya Roh Kudus itu sendiri, yakni apakah ia memberi dirinya dipimpin oleh Roh itu atau tidak (a.l. Rm 8: Gal 5). Jadi bukan Roh Kudus itu tidak ada, tetapi pribadi-pribadi yang beribadah inilah yang membuat Roh itu dirasakan seolah-olah tidak ada dalam suatu ibadah jemaat. Karena apa? Karena jemaat memang bersekutu, tetapi bisa "tidak beribadah"!

Dalam kehidupan warga gereja kata �koinonia� (???????a) adalah salah dari tri tugas panggilan gereja, yaitu : persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia). Koinonia menunjuk kepada suatu hubungan antara pribadi satu dengan pribadi lainnya. Di dalamnya ada komitmen yang kuat, kesatuan, kebersamaan, tindakan bersama, partisipasi, kontribusi, keselarasan, keintiman, sharing, dsb. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bersekutu itu: ber�se�ku�tu v 1 berekanan (dng); berkawanan (dng); menggabungkan diri (dng); 2 berserikat (dng); menggabungkan diri (dng); 3 berkomplot; bersekongkol; 4 merupakan himpunan (persekutuan).

Baik bersekutu dalam koinonia (Yun) maupun dalam bahasa Indonesia intinya bicara soal hubungan (relationship) manusia satu dengan yang lainya. Ketika 'bersekutu' ini dibawa ke ibadah jemaat, maka yang berlaku adalah ibadah persekutuan orang-orang percaya dengan Tuhan, Pribadi-pribadi BERSEKUTU UNTUK MENYEMBAH TUHAN. Dengan demikian, ibadah bukan sekedar persekutuan orang-orang percaya, tetapi PERSEKUTUAN PENYEMBAH TUHAN. PENYEMBAHAN (worship) inilah yang memang harus kita pertanyakan kembali bila melihat bagaimana kita saat beribadah : sikap tubuh, sikap dan cara menyanyi, sikap dan cara membaca Alkitab, sikap dan cara kita mendengarkan uraian Firman Tuhan, sikap berdoa, dsb termasuk bagaimana para pelayan-pelayan mempersiapkan diri dan mengerjakan pelayanan yang saat itu dipercayakan kepadanya, dsb. 

Satu contoh, lihatlah bagaimana kita menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat : ada yang menyanyi dengan mata yang liar ke sana ke mari, ada yang menyanyi asal bunyi, bahkan ada yang tidak menyanyi, namun hanya melihat orang menyanyi. Lagu-lagu yang berjiwa Roh itu menjadi seakan-akan tidak ber-Roh karena orang-orang yang menyanyikannya TIDAK MENYANYI SEBAGAI PENYEMBAH, melainkan hanya sebagai pemenuhan salah satu unsur liturgi belaka. Akhirnya lagu-lagu seperti Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Nyanyian Baru, Nyanyian Rohani, Mazmur, dsb seakan-akan tidak menyentuh batin kita. Mengapa? Apakah lagu dan syairnyakah yang tidak bagus? Bukan! Tetapi karena kitalah yang menyanyikan lagu itu tidak sebagaimana seharusnya kita menyanyikannya.

Ini juga ditentukan oleh pemimpin ibadat. Jika pemimpin ibadat menyanyikan lagu tanpa menjiwai syairnya, maka itu sangat kuat mempengaruhi jemaat dalam bernyanyi. Bagaimana mungkin menuntut jemaat bernyanyi sebagai penyembah, sedangkan pemimpin ibadat sendiri tidak melakukan hal yang sama? Semua nyanyian yang namanya Nyanyian Rohani atau Nyanyian Jemaat atau Nyanyian Gerejawi bukanlah nyanyian untuk sedap-sedapan telinga dan perasaan. Bukan pula ucapan bibir belaka. Semua nyanyian itu bila dilantunkan oleh seorang percaya menjadi lantunan lagu seorang PENYEMBAH TUHAN. Maka bukan saja bibir dengan suara yang bernyanyi, tetapi juga seluruh JIWANYA, TUBUHNYA dan ROHNYA BERNYANYI. Tapi lihatlah bagaimana jemaat kita bernyanyi? Dimana mulut, dimana pikiran, dimana tangan ... masing-masing jalan sendiri. Mulut menyanyi, namun pikiran tidak di lagu, dan tangan mengutak-atik segala yang tidak pantas lagi diutak-atik pada saat beribadah.

Tetapi sayang sekali, ini seringkali tidak mendapat perhatian dari kita. Bahkan nyanyian jemaat yang berbait-bait itu jarang sekali dinyanyikan sepenuhnya. Seolah-olah nyanyian jemaat hanyalah selingan, bukan bagian utama dalam suatu ibadah. Nyanyian Jemaat yang seringkali dinyanyikan berbait-bait hanya pada unsur persembahan. Alasannya? Karena persembahan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Coba kalau di luar persembahan, lihat reaksi jemaat. Tidak semua menyelesaikannya dengan cara yang benar. Satu bait saja asal bunyi, apalagi lima bait???? Seperti tidak suka memuji Tuhan berlama-lama. Rata-rata 1 bait saja, itu cukup. Lebih dari itu, PROTES; "Terlalu panjang lagunya, harusnya 1 bait saja." Mengapa??? KARENA ia ada di situ untuk BERSEKUTU saja, BUKAN BERIBADAH!!!!! Kalau Anda benar-benar beribadah, pulang pun rasanya tidak ingin lagi, karena Anda menemukan keindahan beribadah, yakni bahwa ibadah adalah persekutuan dengan Tuhan, bukan persekutuan dengan manusia belaka.

Demikianlah kita cenderung tidak membawa diri kita ke dalam penyembahan itu. Kita bersekutu, tetapi kita tidak beribadah. Kita ada, tetapi kita tidak menyembah. Akhirnya, kekhusukan (kesungguhan) ibadah seakan jauh dari ibadah itu sendiri. Kegelisahan pun tak terelakkan. Kecenderungan kegelisahan itu juga begitu jelas bila suatu ibadah berlangsung lama. Menyanyi lama saja gelisah, apalagi saat berdoa. Ada yang tampak sungguh-sungguh, tapi ada pula yang mulai mencari sandaran untuk mengambil posisi nyaman. Lama kelamaan tampak seperti tidur. Ada yang berdoa sambil memangku kaki. Ada yang tidak berdoa melainkan memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Lebih parahnya lagi, saat berdoa dimanfaatkan untuk mengirim/membalas sms atau keluar untuk menelpon. Dan satu hal yang kalau dikategorikan sebagai penyakit berbahaya, yang satu ini sudah kanker stadium IV, yakni memandang DOA SYAFAAT sebagai "jam tidur sejenak" atau "jam istirahat" dengan memilih ke luar dari ruang ibadah untuk KE KAMAR KECIL atau MEROKOK, lalu masuk saat Doa Bapa Kami mulai diucapkan. Ironisnya, untuk Doa Bapa Kami itu ia ikut berdoa, tanpa merasa ada yang tidak benar dalam lakunya itu.

Inikah persekutuan yang menyembah itu? Maka Tuhan Yesus, Kepala Gereja, akhirnya berkata:
"(7) Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: (8) Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:7-8)

Ibadah Jemaat bukan media untuk saling berkumpul seperti perkumpulan umum dalam dunia. Kamus Bahasa Indonesia mendefenisikan ibadah itu adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Perjanjian Lama kata 'Ibadah' dari bahasa Ibrani : 'avoda' (?????) dan dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani umumnya adalah : latreia' (?at?e?a) memiliki arti kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan atau penghambaan dengan rasa takut penuh hormat, kekaguman, ketakjuban, penuh puja. Dalam bahasa Inggris : worship, adoration yang berarti pemujaan, penyembahan, cinta yang mendalam, cinta sejati. Maka IBADAH ADALAH AKU DAN TUHAN, kita dan Tuhan. Bukan : aku dan kau atau kita dan kita.

Yang tampak lebih menonjol di ibadah jemaat adalah aku dan kau, kita dan kita (bersekutu). Suatu pertemuan manusia percaya dan manusia percaya lainnya, anggota jemaat dan anggota jemaat lainnya. Ini menjadi salah satu pintu keikutsertaan status, kedudukan, jabatan seseorang ke dalam persekutuan sampai ke ibadah. 'Dibedakan' dan 'membedakan' hanya mungkin dalam tataran manusia dan manusia. Ketika seseoang memandang ibadah adalah dirinya dan Tuhan, maka ia akan dapat berkata "I'm nothing". Maka sikap, cara, ekspresi yang keluar dari dirinya akan dapat seperti Raja Daud yang sanggup dengan jujur memuliakan dan menyembah Tuhan tanpa harus menjaga "image" dirinya di hadapan manusia (2 Sam 6). Meski tidak menjiplak cara Daud sebab karakter manusia berbeda dan itu menimbulkan sikap, cara dan ekspresi yang berbeda-beda pula, namun kesungguhan seseorang beribadah pasti akan terlihat dengan mata manusia per karakter manusia itu masing-masing.


Bila gereja tidak memperhatikan hal ini, maka pertanyaannya adalah apa yang gereja cari dari ketatnya jadwal-jadwal ibadah jika ibadah itu lebih dibiarkan bersifat "bersekutu" saja dari pada "beribadah"? --**HEP**

Senin, 14 Maret 2011

Jangan Panik | 1 Samuel 10:8;13:5-12

jangan panik
1 Samuel 10:8  Engkau harus pergi ke Gilgal mendahului aku, dan camkanlah, aku akan datang kepadamu untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Engkau harus menunggu tujuh hari lamanya, sampai aku datang kepadamu dan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan."
1 Samuel 13:5-14 --- 13:5 Adapun orang Filistin telah berkumpul untuk berperang melawan orang Israel. Dengan tiga ribu kereta, enam ribu orang pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki sebanyak pasir di tepi laut mereka bergerak maju dan berkemah di Mikhmas, di sebelah timur Bet-Awen. 13:6 Ketika dilihat orang-orang Israel, bahwa mereka terjepit -- sebab rakyat memang terdesak -- maka larilah rakyat bersembunyi di gua, keluk batu, bukit batu, liang batu dan perigi; 13:7 malah ada orang Ibrani yang menyeberangi arungan sungai Yordan menuju tanah Gad dan Gilead, sedang Saul masih di Gilgal dan seluruh rakyat mengikutinya dengan gemetar.13:8 Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. 13:9 Sebab itu Saul berkata: "Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu." Lalu ia mempersembahkan korban bakaran.
13:10 Baru saja ia habis mempersembahkan korban bakaran, maka tampaklah Samuel datang. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya. 13:11 Tetapi kata Samuel: "Apa yang telah kauperbuat?" Jawab Saul: "Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas, 13:12 maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran."

Samuel meyuruh Saul lebih dahulu berangkat ke Gilgal dengan pesan agar Saul menunggu 7 hari sampai Samuel datang menemuinya di sana. Tetapi ketika 7 hari waktu yang ditetapkan itu Samuel belum datang juga, sementara orang Filistin telah siap menyerang orang Israel, ditambah kepanikan dari orang Israel, maka Saul mengambil langkah sendiri. Saul mempersembahkan korban bagi Allah tanpa Samuel. Baru saja selesai mempersembahkan korban, Samuel pun datang. Apa kata Samuel mengetahui apa yang baru saja dilakukan oleh Saul? 
I Samuel 13:13 Kata Samuel kepada Saul: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. 13:14 Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu."
Sedianya TUHAN Allah punya rancangan yang indah buat Saul, tetapi oleh ketidataatan Saul terhadap perintah TUHAN melalui nabi Samuel, maka pemerintahan Saul atas Israel pun segera akan berakhir, sebab oleh ketidaktaatannya, TUHAN telah memilih seseorang yang akan menggantikan dirinya, yang tak lain adalah Daud.

Di sini kita belajar satu hal yang terkandung dalam ketidaktaatan Saul, yakni KEPANIKAN.


Saul takut ditinggalkan oleh bangsanya sendiri. Kepanikan orang Israel menjadi kepanikan Saul. Saul memandang kekuatannya ada pada orang-orang Israel sehingga ketika mereka panik lalu meninggalkan Saul, Saul memandang itu sebagai bahaya bagi dirinya sendiri.

Dalam kepanikannya itu, Saul mengira telah mengambil langkah yang tepat, yakni mempersembahkan korban kepada TUHAN Allah dengan maksud memohon belas kasihan TUHAN. Justru dengan tindakannya itu nyatalah bahwa Saul menaruh andalan kepada kekuatan manusia bukan kepada TUHAN.

TUHAN Allah sudah memerintahkan Saul untuk menunggu Samuel datang guna menyampaikan apa yang harus ia lakukan. Kepanikan membuat Saul tidak lagi mengingat akan perkataan TUHAN kepadanya. Saul melihat keadaan yang dihadapinya seakan adalah penentu nasib hidupnya dan hidup bangsanya. Kepanikan memudarkan pandangan iman Saul akan kemahakuasaan TUHAN. Meski persembahan korban yang dilakukan sendiri oleh Saul itu bertujuan mulia yakni meminta belas kasihan TUHAN, namun  semangat mengajukan permohonan itu berakar pada ketidakpercayaan Saul akan perkataan TUHAN kepadanya.

Bukankah demikian juga ada pada diri kita di kekinian? Perhatikanlah bagaimana kepanikan oleh suatu peristiwa membuat manusia-manusia bergerak atau bertindak dengan gelagat bagaikan orang tak ber-Tuhan. Menjerit-jerit "Tuhan, tolonglah kami". Terdengar jeritan-jeritan itu begitu religius, tetapi Ia, Tuhan yang kepada-Nya seruan itu ditujukan, mendapati ketidakpercayaan di dalam jeritan histeris itu. Jeritan-jeritan penuh kata-kata 'Tuhan' memilukan hati TUHAN, karena dalam kata 'Tuhan' itu justru Ia kehilangan kuasa-Nya di mata orang yang berseru-seru panik itu. Keadaan atau situasi atau kondisi dari suatu peristiwa telah terlihat begitu berkuasa atas hidup orang-orang yang panik seakan-akan keadaan itu sendiri menentukan mati dan hidup manusia. Semua perkataan Firman Tuhan seolah tidak pernah tersampaikan kepada mereka. 


Benar, bahwa dalam keadaan darurat setiap manusia akan melakukan upaya penyelamatan dirinya. Tuhan Yesus juga berkata kepada murid-murid-Nya: "Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain." (Matius 10:23a). Tapi upaya penyelamatan diri yang dianjurkan Yesus ini tidak atas dasar kepanikan bahkan tidak bermotivasi penyelamatan diri murid-murid-Nya itu sendiri, melainkan, Yesus melanjutkan, "karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang." (Mat 10:23b). "Larilah ke kota lain", lalu Yesus lanjutkan "sebelum kamu selesai MENGUNJUNGI kota-kota Israel", artinya apa? Selagi masih dapat melarikan diri dari suatu penganiayaan, larilah, lari untuk mengabarkan Injil Kristus di kota-kota lainnya. Lari bukan karena panik atau takut mati, tetapi lari untuk ada lagi di kota lain guna memberitakan Injil Keselamatan di kota di mana mereka tuju. Lari bukan karena ketidakpercayaan akan kemahakuasaan TUHAN, apalagi lari karena takut mati, melainkan lari karena tanggung jawab untuk terus menjadi pemberita-pemberita Injil Kristus selagi hidup itu masih diperkenankan oleh Tuhan kepada mereka. Lalu apakah kepanikan anak-anak Tuhan dalam berbagai kejadian atau peristiwa adalah seperti yang dimaksudkan Tuhan Yesus ini?


Jujurlah kita mengakui, upaya penyelamatan diri kita dari setiap kejadian atau peristiwa hampir sebagian besar tidaklah beda sebagaimana yang dilakukan Saul. Suatu peristiwa atau kejadian itu seakan begitu besar dan menakutkan seolah-olah berkuasa atas tubuh, jiwa dan roh kita. Firman Tuhan tidak punya tempat lagi dalam kepanikan. Doa mengalir dari bibir yang gemetar ketakutan, bukan dari hati yang percaya. Takut untuk mati begitu kuat mengikat rasa hati manusia. Ingatan akan diri sendiri, anak-anak, suami, isteri, harta benda, orang tua bercampur aduk di pikiran. Ketidaksiapan meninggalkan dunia mengesan kuat karena kepentingan diri sendiri, bukan untuk suatu tujuan kemuliaan bagi nama Tuhan. Dunia menjadi begitu berarti, bukan karena kita ingin bertahan karena Tuhan, melainkan untuk diri kita sendiri.

Tahun 2007 gempa mengguncang kota Manado, listrik padam, isu tsunami menggeger. Pada saat itu saya sedang berdiri di mimbar gereja di ibadat malam. Saya tidak menghentikan jalannya ibadat itu, bahkan tak ada satu bagian pun saya lewati. Satu dua lilin dinyalakan oleh rekan-rekan pelayan yang bertugas malam itu. Ibadat terus berlanjut sementara gedung gereja kerap berguncang kuat. Apa yang terjadi saudara? Di luar para orang tua yang anak-anaknya sedang mengikuti ibadat mengumpat, entah siapa yang mereka umpat, karena ibadat tidak dihentikan, sementara orang sudah berlarian ke luar rumah menyelamatkan diri. Mereka mau supaya penyembahan kepada TUHAN Allah di dalam Yesus Kristus, Juruselamat Dunia, DIHENTIKAN karena mereka menganggap itu akan membahayakan anak-anaknya yang sedang menyembah kepada-Nya itu. Tetapi mereka kecewa, sebab terpujilah Tuhan, tak satu pun mereka yang beribadat malam itu berhenti menyembah (meninggalkan gedung gereja). Dan sampai hari ini anak-anak mereka dan kami yang beribadat di malam itu masih hidup. Namun dengan ini pula nyatalah bagi kita, ibadat tidak selalu dipandang sebagai penyembahan dan  orang Kristen tidak selalu berarti orang PERCAYA.
Semua itu ada dalam kepanikan. Sebab upaya penyelamatan diri atas percaya akan jauh lebih tampak dari orang-orang yang tidak panik, melainkan tenang.
1 Petrus 4:7 Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.
Ketenangan, itulah lawan kepanikan. Ketenangan membuat pikiran kita bekerja dengan lebih baik sehingga langkah-langkah penyelamatan diri pun akan memiliki dasar-dasar pertimbangan. Ketenangan memberi ruang bagi hati kita dan hati Allah. Ketenangan memberi waktu bagi kita untuk berseru kepada Tuhan dengan pikiran yang mengingat akan janji-janji Tuhan dan mengaminkan kehendak Tuhan berlaku dalam hidup kita. Berdoa dalam kepanikan adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan, sedangkan berdoa dalam ketenangan adalah menyerahkan hidup kita kepada kehendak-Nya. Berdoa dalam kepanikan adalah mempertanyakan kemahakuasaan TUHAN, sedangkan berdoa dalam ketenangan mengaminkan kemahakuasaan TUHAN atas kita. Ketenangan memberi ruang bagi ungkapan permohonan dalam kepercayaan yang masih terjaga di hati kita dan "dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu" (Yesaya 30:15c).


Kita tidak pernah tahu rencana TUHAN atas hidup kita. Kepanikan dapat mengecewakan TUHAN karena kepanikan mengindikasikan ketidakpercayaan kita kepada-Nya, dan bisa saja seperti Saul, ini mengubah masa depan kita yang sedianya sudah dirancangkan-Nya bagi kita. Bagi saya bukan ini yang penting, melainkan bahwa suatu peristiwa atau kejadian justru dipakai TUHAN untuk melihat hati yang percaya kepada-Nya. Tetaplah tenang dan berdoa, agar dengan hikmat-Nya kita dituntun kepada keselamatan yang dikenan-Nya. Momen-moment menegangkan adalah kesempatan bagi kita untuk membuat Ia bahagia, bahwa Ia masih mendapati kepercayaan di hati kita kepada-Nya. Semoga.--**HEP**

Sinoptik | Yesus Berdoa di Taman Getsemani


Matius 26:36-46; Markus 14:32-42; Lukas 22:39-46; Yohanes 18:1-2

 
Taman Getsemani adalah sebuah taman di kaki bukit Zaitun di Yerusalem, Israel. Kata Gethsemane muncul pada Injil Matius dan Injil Markus berbahasa Yunani sebagai Ge?s?�a?? (Gethsemani). Kata ini berasal dari Assyria ???? (Ga?-�mane), yang artinya �alat pemeras (penghasil) minyak�. -atau Kilang Minyak Zaitun. Matius 26:32 dan Markus 14:32 menyebutnya ?????? (kho-ree'-on) atau �tempat�. Injil Yohanes 18:1 mengatakan Yesus memasuki sebuah �taman� ??p?? (kepos) bersama dengan murid-muridnya. (Wikipedia)

Matius dan Markus
Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu tempat bernama Getsemani (Mat 26:36; Mrk 14:32)

Lukas
Yesus dan murid-murid-Nya ke luar kota dan sebagaimana biasanya Ia menuju Bukit Zaitun (Luk 22:39)

Yohanes
Yesus dan murid-murid-Nya ke suatu taman di seberang sungai Kidron (Yoh 18:1), tempat di mana Yesus dan murid-murid-Nya sering berkumpul, oleh karena itu Yudas Iskariot juga tahu tempat itu (Yoh 18:1-2)

Yesus kepada Murid-murid-Nya :

Matius dan Markus



Lukas


"Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa." (Mat 26:36; Mrk 14:32)

"Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan." (Luk 22:40)

Matius dan Markus
Yesus membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus (Yohanes dan Yakobus) ke tempat Ia berdoa (Mat 26:37; Mrk 14:33)


Matius
Mulailah Yesus merasa sedih dan gentar (Mat 26:37)

Markus
Yesus sangat takut dan gentar (Mrk 14:33)



Kepada Petrus, Yakobus dan Yohanes

Matius dan Markus   


Matius


Markus


"Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.� (Mat 26:38; Mrk 14:34)

�Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." (Mat 26:38)

�Tinggalah di sini dan berjaga-jagalah� (Mrk 14:34)

Matius
Yesus maju sedikit, sujud dan berdoa (26:39).




Markus
Yesus maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa (14:35)




Lukas
Yesus menjauhkan diri dari murid-murid-Nya kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa (22:41):


"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39)


"Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Mrk 14:36)


"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." (Luk 22:42)

Lukas
Seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada Yesus untuk memberi kekuatan kepada-Nya (22:43)


Lukas
Yesus sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa (22:43a)


Lukas
Peluh Yesus menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah ( 22:43b)


Matius, Markus, Lukas
Yesus kembali kepada murid-murid-Nya

Matius
Yesus mendapati mereka sedang tidur (26:40)

Markus
Yesus mendapati ketiganya sedang tidur (14:37))

Lukas
Yesus mendapati mereka sedang tidur karena dukacita (22:45))


Matius
Yesus kepada Petrus :






Matius
Yesus kepada Petrus : 





Lukas
Yesus kepada murid-murid-Nya :

"Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:  roh memang penurut, tetapi daging lemah� (Mat 26:40-41)


"Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Mrk 14:37-38)

"Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan." (Luk 22:46)

Matius
Yesus pergi untuk kedua kalinya dan berdoa :


Markus
Yesus pergi lagi berdoa


"Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" (Mat 26:42)

Mengucapkan doa yang itu juga (Mrk 14:39)

Matius dan Markus
Yesus kembali kepada mereka

Matius dan Markus
Yesus mendapati mereka sedang tidur,
sebab mata mereka sudah berat (Mat 26:43; Mrk 14:40)

Markus
Mereka tidak tahu jawab apa yang harus mereka berikan kepada Yesus (14:40)


Matius
Yesus membiarkan mereka di situ (36:44)


Matius
Yesus pergi berdoa untuk ketiga kalinya (26:44)

Ia mengucapkan doa yang itu juga (Mat 26:44)

Matius dan Markus
Kembali kepada murid-murid-Nya.

Kepada murid-murid-Nya :
Matius





Markus



(45) "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. (46) Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat."

(41) "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. (42) Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat."

_ � _ �**HEP**� _ � _

Minggu, 13 Maret 2011

Cuma Ingin Dengar | Humor Kristiani

Seorang Pendeta sedang memperbaiki pagar kebunnya. Dengan penuh tenaga dan semangat ia memaku kayu-kayu untuk pagar barunya. Seorang Anak Kecil dari desa tetangga datang dan memperhatikan dengan serius sang Pendeta yang sedang bekerja. "Kamu pasti juga ingin bisa memaku seperti ini, bukan?" tanya Pendeta. "Oh ... saya sudah bisa memaku dengan baik!" jawab Anak tersebut. "Lalu kenapa kamu memperhatikan aku dengan penuh perhatian?" tanya Pendeta lebih lanjut. "Saya cuma ingin dengar kata-kata apa yang bakal keluar dari mulut Bapak kalau palu itu mengenai ibu jari Bapak",  jawab anak kecil itu dengan santainya. ***

?|| PREVIOUS : Humor 5

Sabtu, 12 Maret 2011

Pemisahan

pemisahan
Apakah Anda pernah mengalami pemisahan? Dipisahkan dari seseorang yang sangat Anda cintai? Dipisahkan dari sesuatu yang menjadi andalan dan harapan Anda selama ini?


Mari kita lihat soal Abraham... bapak orang percaya. Abraham telah melalui proses pemisahan-pemisahan dalam hidupnya. Ia mengalami rasa sakit dan terluka yang amat dalam. Tetapi justru melalui pemisahan-pemisahan itu, Allah membawa Abraham naik ke level yang lebih tinggi untuk mendapat �berkat yang lebih besar.

Ada beberapa proses pemisahan yang dialami Abraham dalam hidupnya sehingga menjadikan dia seorang �manusia Allah.� 


Pertama, Abraham dipisahkan dari Terah, bapanya (Kisah 7:1-3)

Abraham telah menyalahi perintah Tuhan. Allah berfirman kepada Abraham,�Engkau harus pergi sendiri.� Tetapi nyatanya Terah yang membawanya pergi keluar dari Ur-Kasdim, negerinya itu. (Kejadian 11:31-32). Terah berarti "delay" atau penundaan. Allah harus memisahkan Abraham dari Terah, karena selama ini Abraham menganggap Terah sebagai tempat menaruh harapan dan �sumber dari hidupnya.� Allah ingin Abraham dapat belajar bergantung hanya kepada Dia dan melihat Allah sebagai �Sumber Kehidupannya.�
Memang dipisah dari seseorang atau sesuatu yang selama ini menjadi andalan dan sumber dari hidup kita adalah sulit dan berat. Saat ini mungkin Anda kehilangan pekerjaan atau bisnis yang menjadi andalan Anda atau kehilangan seseorang yang telah menopang dan mendukung Anda. Setiap proses pemisahan selalu diikuti dengan berkat dan kemurahan Allah apabila Anda tidak menjadi kecewa dan mundur melainkan Anda tetap beribadah dan melayani Dia.

Kedua, Abraham harus dipisahkan dari Lot, keponakannya (Kejadian 13:1-11)
Nama Lot artinya "Veil" atau selubung, sesuatu yang menghalangi atau menutupi pandangan sehingga gagal melihat kenyataan yang sebenarnya. Abraham harus dipisah dari Lot agar Abraham mampu melihat perkara-perkara rohani yang mulia dan berharga. Allah ingin mengajar Abraham bahwa perkara-perkara jasmani dan materi selalu ditopang oleh perkara-perkara rohani.
Saat Anda diperlakukan tidak adil, belajarlah lewat kisah Abraham. Tuhan memang izinkan proses pemisahan supaya kita tidak selalu menggunakan kekuatan sendiri melalui apa yang dapat dilihat mata atau didengar telinga yang nampaknya baik dan menguntungkan. Tuhan mau mengajar kita melihat dengan mata hati yang terang untuk melihat janji Allah dalam hidup ini.

Ketiga, Abraham dipisahkan dari Hagar dan Ismail (Kejadian 21:8-12)

Pesan melalui pemisahan Abraham dengan Hagar dan Ismail adalah apabila kita merelakan kekuatan diri kita dipotong bahkan diremukkan-Nya janganlah menjadi kecewa, Dia menjamin akan memelihara dan memberkati hidup kita.

Keempat, Abraham dipisahkan dari Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-2)

Allah mengerti bahwa Abraham sangat mencintai Ishak, anaknya yang tunggal itu. Pernahkah Anda mengalami hal yang sama? Tuhan yang telah memberikan perasaan khusus lalu Tuhan sendiri memerintahkan untuk menghapus perasaan itu demi Dia, ini sesuatu yang paling berat karena menyangkut pribadi yang telah melekat di hati kita. Hal ini mengajar kita bagaimana rasanya jatuh cinta dan melekatkan hati kita kepada Tuhan. Tuhan ingin menjadi yang utama dan segalanya dalam hidup kita. Tidak boleh ada seseorang atau sesuatu yang lain kecuali Dia saja.

�Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau yang tidak kuatir dalam tahun kering dan yang tidak berhenti menghasilkan buahnya.� (Yeremia 17:7-8) *** [Sahabat]

Gaya Berkhotbah Hamba-Hamba Tuhan

Hamba-hamba Tuhan mempunyai gaya berkhotbah yang berbeda-beda. Ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan berapi-api dan berkesan galak, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan lembut kebapakan, ada hamba Tuhan yang berkhotbah dengan begitu serius seperti nabi, tapi ada pula yang berkhotbah dengan jenaka dan bersahabat. 

Bila kita coba memikirkan faktor-faktor apakah yang membentuk gaya berkhotbah seorang pengkhotbah, maka kita akan menemukan satu analisa yang sangat menarik yang mungkin dapat membantu kita, sebagai seorang pengkhotbah, dalam mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. Faktor-faktor pembentuk itu banyak dan kompleks, namun di sini saya akan membatasinya hanya pada tiga faktor yang dominan saja, yakni: temperamen, peniruan, dan citra diri pengkhotbah. 

Temperamen 
Dari sudut psikologi, kita tahu bahwa manusia mempunyai temperamen yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Pada dasarnya temperamen manusia dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Kolerik, Sanguin, Melankolik, dan Plegmatik. Walaupun tidak ada manusia yang melulu memiliki satu temperamen�pada hakekatnya setiap manusia memiliki campuran temperamen�namun, tetap ada satu temperamen yang dominan dalam diri seseorang. Temperamen yang dominan ini bukan hanya mempengaruhi pembawaan seorang pengkhotbah dalam kehidupannya sehari-hari, tapi juga mempengaruhi gaya berkhotbahnya di mimbar. 

Seorang yang bertemperamen Sanguin, yang biasanya lebih bersifat ekstrovet, mungkin lebih menarik dan bersahabat dalam menyampaikan Firman Tuhan dibanding dengan seorang plegmatik yang introvet dan dingin. Namun seorang Plegmatik mungkin mampu berkhotbah dengan pemikiran yang lebih mendalam dari pada pengkhotbah dengan temperamen lainnya. Seorang pengkhotbah yang Kolerik nampak lebih tegas dan berwibawa dalam berkhotbah, namun seorang pengkhotbah yang bertemperamen melankolik bisa jadi lebih mengunggulinya dalam menyentuh hati pendengar. 

Barangkali ada di antara kita yang tidak begitu yakin dengan analisa temperamen ini, yang lebih bernuansa psikologis daripada alkitabiah, tapi pada kenyataannya seorang pengkhotbah menyadari ada suatu pembawaan yang dominan dalam dirinya�yakni temperamen�yang tidak bisa ia abaikan begitu saja, apalagi merubahnya. Ketika ia mencoba gaya yang berbeda dari pembawaannya, ia merasa sangat sukar dan tidak nyaman. Fakta itu menunjukkan bahwa, pada hakekatnya, gaya berkhotbah seorang pengkhotbah tidak akan bergeser jauh dengan temperamen yang ia miliki. 

Peniruan 
Faktor lain yang dapat membentuk gaya seorang pengkhotbah dalam berkhotbah adalah faktor peniruan. Meskipun setiap pengkhotbah itu unik dalam gaya berkhotbahnya, ada sebagian pengkhotbah justru selalu berusaha untuk meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain. Peniruan gaya berkhotbah ini bersumber dari imaginasi pengkhotbah tersebut yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh idolanya. Harus kita akui, pada umumnya setiap pengkhotbah sedikit banyak dipengaruhi oleh satu atau dua pengkhotbah lainnya. Hal itu wajar terjadi dan tidak perlu menimbulkan perasaan bersalah. Yang tidak wajar adalah bila kita terus menerus meniru gaya orang lain tanpa berusaha untuk keluar dari keterikatan tersebut dan mencari bentuk kita sendiri. 

Seorang pengkhotbah yang �dewasa� akan merasa tidak nyaman untuk meniru gaya pengkhotbah lain. Ia akan mantap dengan gayanya sendiri. Di samping itu, ia menyadari bahwa jemaat tidak akan menjadi kagum dengan akting peniruaannya; sebaliknya, mereka akan menjadi �geli� dengan gaya imitasinya. Kita bisa membayangkan perasaan tidak nyaman seorang pengkhotbah bila setelah usai kebaktian seseorang mengatakan kepadanya bahwa ia berkhotbah mirip dengan Pendeta anu atau Pendeta itu. Perkataan seperti itu jelas bukan pujian yang harus diterima dengan senang hati oleh si pengkhotbah, kecuali identitas diri pengkhotbah itu memang lemah. Satu fakta yang perlu kita ingat adalah bahwa seorang pengkhotbah yang terkenal dipuji bukan karena ia dapat berkhotbah dengan gaya mirip seorang pengkhotbah terkenal lainnya, tapi karena ada sesuatu yang unik di dalam diri dan khotbahnya, termasuk keorsinilan gaya berkhotbahnya. 

Bila kita merasa bahwa sebagian besar gaya kita masih dibayang-bayangi oleh gaya pengkhotbah idola kita, dan kita ingin memiliki gaya berkhotbah khas kita sendiri, maka ada beberapa hal yang perlu kita pikirkan. Yang pertama, perlu kita sadari bahwa Allah tidak pernah menciptakan seorang manusia pun sama dengan manusia lainnya, demikian juga setiap pengkhotbah. Setiap pengkhotbah unik bukan hanya dalam temperamen, karakter, latar belakang hidup, tapi juga unik dalam gaya menyampaikan firman Tuhan. 

Oleh karena itu, usaha untuk menjadi sama seperti pengkhotbah lain, meniru bahkan menjiplak, merupakan usaha yang berlawanan dengan rencana Allah yang indah bagi setiap pengkhotbah. Dengan perkataan lain, selama kita berkhotbah tidak dengan gaya kita sendiri, selama itu pula kita tidak pernah menjadi seorang pengkhotbah yang pas dengan maksud Tuhan. Satu hal yang perlu kita yakini ialah bahwa setiap gaya yang orsinil mampu berbicara lebih efektif dari pada gaya imitasi yang kita tiru dari seorang pengkhotbah yang paling efektif. 

Usaha kedua yang perlu dilakukan adalah timbulkan perasaan malu dalam diri kita pada waktu kita meniru baik isi khotbah dan juga kata-kata dari pengkhotbah yang menjadi idola kita. Perasaan malu itu bukan hanya akan memagari diri kita untuk tidak melangkah ke lahan gaya orang lain dan mengklaimnya sebagai hasil tanaman kita sendiri, tapi juga memaksa kita mencari bentuk dan mengembangkan gaya khotbah khas kita. 

Tuhan tidak menuntut kita untuk menjadi seperti seorang lain sebelum Dia memakai kita; sebaliknya, Ia memakai kita dengan keunikan yang ada pada kita. Dengan mata imaginasi kita dapat melihat betapa bingungnya Daud ketika ia �dipaksa� oleh Saul untuk memakai baju perang dan ketopong tembaga milik Saul pada waktu ia hendak berperang melawan Goliat. Saul, yang tubuh yang lebih tinggi dari rata-rata orang sezamannya, memang adalah pendekar perang yang tangguh, tapi fakta itu tidak berarti bahwa Daud yang bertubuh lebih kecil tidak dapat dipakai Tuhan sebagai alat-Nya. Daud menyadari bahwa baju perang Saul tidak pas untuknya, maka ia melepaskannya dan mengenakan bajunya sendiri. Kepercayaan dirinya tidak merosot dan ia tetap yakin bahwa dengan keunikannya Allah dapat memakainya. Keyakinan seperti itulah yang seharusnya ada dalam diri kita sebagai seorang pengkhotbah. Dari pada menjiplak gaya orang lain, pasti akan jauh lebih baik jika kita mengembangkan gaya berkhotbah kita sendiri. �Be yourself� itulah nasihat yang harus kita selalu ingat. 

Citra Diri Pengkhotbah 
Sebagian besar pengkhotbah mempunyai citra tentang siapakah dirinya sebagai seorang pengkhotbah dan apa yang sedang ia kerjakan. Sebagian lagi, mungkin, mempunyai konsep yang samar-samar atau bahkan tidak pernah memikirkan sama sekali tentang apa dan siapakah diri mereka sebagai seorang pengkhotbah. Sebenarnya, andil yang terbesar dalam membentuk gaya seorang pengkhotbah adalah citra diri yang dimilikinya sebab citra diri tersebut mendorongnya untuk bergaya seperti apa yang ia bayangkan. 

Jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang �nabi�, ia akan berkata-kata dengan sangat otoritatif seolah-olah ia mendengar suara Allah atau mendapat penglihatan langsung dari Allah. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran bahwa dirinya adalah seorang pengajar, maka ia akan berkhotbah dengan gaya seorang guru yang berlakon di depan murid-muridnya. Hal yang serupa terjadi, jika seorang pengkhotbah mempunyai konsep bahwa dirinya adalah seorang gembala, maka gaya khotbahnya lebih cenderung lembut, tenang dan berisi banyak wejangan. Namun, jika seorang pengkhotbah mempunyai gambaran dirinya adalah seorang �entertainer�, maka ia akan berkhotbah dengan gaya yang lucu dan terus melucu. 

Sebenarnya, ada banyak konsep tentang siapakah pengkhotbah itu, baik yang Alkitabiah maupun yang bukan. Namun demikian, Thomas G. Long dalam bukunya, The Witness of Preaching, menyakinkan bahwa gambaran yang paling tepat dan sehat tentang siapakah seorang pengkhotbah itu terdapat dalam Yesaya 43:8-13 dan Kisah Para Rasul 20:24, yakni, seorang pengkhotbah adalah �seorang saksi�. 

Gambaran �seorang saksi� menekankan bahwa: (1) Seorang pengkhotbah bukan sumber otoritas, tetapi ia hanya seorang saksi yang telah melihat dan mendengar firman Tuhan lebih dahulu. Ia adalah juga bagian dari jemaat dan berasal dari jemaat, kemudian diutus oleh jemaat untuk pergi menyaksikan�mendengar dan melihat�firman Tuhan untuk kemudian menyampaikan kepada jemaat apa yang telah ia saksikan. (2) Itulah sebabnya, ia tidak diharapkan untuk menyaksikan hal-hal yang lain, termasuk menyaksikan kehebatan dirinya, tetapi hanya menyampaikan berita dari firman Tuhan yang telah ia saksikan. Ini bukan berarti seorang pengkhotbah tidak boleh sama sekali menceritakan tentang dirinya di mimbar, tetapi pengertian ini lebih menekankan bahwa fokus khotbah bukanlah diri si pengkhotbah itu sendiri, melainkan berita firman Tuhan. (3) Kesaksiannya sangat penting karena menyangkut kebenaran ilahi yang bersifat kekal yang mempengaruhi pengetahuan dan pertumbuhan iman jemaat. (4) Kesaksian tersebut bukan hanya sekadar kata-kata belaka, tetapi juga menyangkut keterikatan total antara kata dan perbuatan dari si pengkhotbah. Dengan kata lain, integritas seorang pengkhotbah memegang peranan penting dalam tugasnya. (5) Yang terakhir, tentu saja dalam tugas sebagai saksi, seorang pengkhotbah dituntut untuk merancang lebih dahulu tentang bentuk kesaksiannya atau cara mengkomunikasikannya agar berita yang ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. 

Konsep ini sangat baik dan bermanfaat karena menempatkan seorang pengkhotbah pada posisi yang tepat tentang siapakah ia dan apa yang sedang ia kerjakan. Seorang pengkhotbah yang menghayati konsep ini tidak akan pernah bergaya otoritatif begitu rupa seolah-oleh ia adalah sumber otoritas itu sendiri. Ia akan tetap menghormati Tuhan, sebagai sumber otoritas yang ia saksikan, dan jemaat yang mendengar khotbahnya. Ia akan selalu ingat bahwa ia adalah bagian dari jemaat, berasal dari jemaat, dan diutus oleh jemaat. 

Dengan menghayati konsep ini, seorang pengkhotbah juga diingatkan bahwa ia berdiri di mimbar sebagai seorang saksi untuk menyaksikan dan menyuarakan firman Tuhan, bukan untuk menyaksikan hal-hal lain, termasuk filsafat, psikologi, sosiologi, manajemen, atau hal-hal lainnya. Firmanlah yang menumbuhkan iman jemaat dan firmanlah yang merubah hidup mereka. 

Oleh karena itu, ia akan sangat serius dalam mempersiapkan firman Tuhan. Ia pergi ke ruang belajarnya sebagai seseorang yang diutus jemaat untuk menyaksikan firman Tuhan. Ia menyelidiki, menganalisa, dan bergumul berjam-jam bahkan berhari-hari dengan bagian Alkitab yang akan dikhotbahkannya untuk menyaksikan�melihat dan mendengar�kehendak Tuhan bagi jemaat. Setelah mendapatkannya, ia dengan keseriusan yang sama memikirkan bentuk penyampaian yang paling efektif sehingga berita yang hendak ia sampaikan dapat diterima oleh jemaat dengan baik. 

Selanjutnya, konsep ini secara implisit menyatakan bahwa khotbah bukanlah suatu karangan intelektual belaka yang disusun berdasarkan urutan yang logis; khotbah juga bukan suatu rangkaian kesaksian pribadi yang diceritakan karena ada sesuatu yang menyentuh di dalamnya. Memang khotbah yang baik menuntut baik cara pikir yang logis maupun kesaksian pribadi yang menyentuh hati pendengar, tapi yang pertama dan terutama khotbah adalah suatu event (peristiwa, saat) di mana seorang pengkhotbah berdiri sebagai seorang saksi yang telah menyaksikan kehendak Tuhan dalam Alkitab yang ia telah gumuli berhari-hari lamanya. Event itu akan sungguh-sungguh menjadi event yang penting bagi jemaat yang mendengarnya bila mereka tahu bahwa orang berdiri berdiri sebagai saksi itu memiliki keterpaduan antara kata dan tindakan: integritas. 

Arah yang Benar Membawa ke Tujuan yang Benar 
Setelah kita mengikuti uraian di atas, kita mendapati bahwa gaya berkhotbah seorang pengkhotbah tidak hanya sekedar melukiskan cara seorang pengkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi lebih dalam dari itu, yaitu, menjelaskan tentang siapakah ia sebenarnya, paling sedikit mengindikasikan temperamen dan citra dirinya sebagai seorang pengkhotbah. Dari kedua hal itu, kita dapat menyimpulkan bahwa apapun temperamen yang dimiliki oleh seorang pengkhotbah tidak akan pernah menghalanginya untuk menyampaikan firman Tuhan dengan baik dan benar, tetapi citra diri pengkhotbah akan sangat mempengaruhi apakah ia melakukan tugas dengan baik dan benar atau tidak. 

Bila kita ingin mengembangkan gaya berkhotbah khas kita sendiri, kita tidak perlu meniru gaya berkhotbah dari pengkhotbah lain, kita juga tidak perlu menyesal bahwa kita bukan tipe temperamen tertentu, tetapi yang paling penting yang kita perlukan adalah memiliki citra diri seorang pengkhotbah yang benar, yang sehat, dan alkitabiah. Dengan menyakini bahwa seorang pengkhotbah adalah seorang saksi, kita akan selalu disadarkan untuk berlakon sewajarnya sesuai dengan tugas dan posisi kita. Yohanes Pembaptis mengerti sepenuhnya tentang hal itu, karena itu ia berkata kepada murid-muridnya, �Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya� (Yoh 3:28).� Akhirnya, citra diri yang benar membawa Yohanes Pembaptis pada tujuan yang benar, ini nampak dalam perkataannya, �Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil� (Yoh 3:30). � *** Pdt. Benny Solihin [Dari "Sahabat" di Grup Nehemia Facebook]

SHALOM
GOD BLESS YOU

Ilustrasi | Cincin Bermata Embun

IlustrasiKonon ada seorang Kaisar yang sangat kejam sekali, rakyatnya sangat takut pada Kaisar itu; sebab kalau apa yang diperintahkan Kaisar tidak dapat dipenuhi maka Kaisar pasti menghukum mereka. Satu-satunya orang yang tidak takut padanya hanya sang putri tunggalnya. Apa saja yang diminta putrinya pasti dikabulkan.


Suatu hari sang putri datang pada papanya.

"Pa, saya mau minta sebuah cincin."

"Bukankah kamu sudah mempunyai banyak cincin anakku?" tanya sang papa kembali.

"Ini yang lain pa, saya menginginkan cincin yang bermata embun." Sambil merengek-rengek di depan papanya.

"Baiklah anakku, papa akan memberikan padamu."

Keesokan harinya Kaisar memberikan pengumuman. "Semua pandai-pandai emas di negeri ini supaya berkumpul di istana, karena ada tugas yang harus saya berikan kepada kalian."

Mendengar ini semua pandai-pandai emas sangat ketakutan, sebab apabila mereka tidak dapat memenuhi permintaan Kaisar, maka ganjarannya dipenjarakan atau dibunuh.

Tibalah hari yang ditetapkan, maka semua pandai-pandai emas pun berkumpul di Istana. Kaisar mengatakan, "Putriku ingin memiliki sebuah cincin yang terbuat dari emas dan bermata embun, saya harap kalian dapat mengerjakan untuknya."

Semua pandai-pandai emas tercengang mendengar itu, tidak ada seorangpun yang berani tunjuk tangan, sebab apa yang ditugaskan oleh raja adalah suatu tugas yang tidak masuk akal. Mereka sudah putus asa, karena mustahil membuat cincin yang bermata embun.

Di tengah keheningan dan ketakutan, maka berdirilah seorang kakek tua dan berkata: "Saya bersedia."

Semua pandai-pandai emas itu gembira bercampur sedih, sebab mereka bayangkan sebentar lagi kakek itu bakal mati, dan kalau berhasil maka mereka semua tertolong. Namun kakek tua ini dengan tenang berkata, "Saudara-saudara doakanlah supaya Tuhan memberi saya hikmat." Lalu kakek ini berpaling pada sang putri Kaisar dan berkata, "Putri, besok pagi-pagi jam 04.00 saya tunggu di halaman Istana."

Keesokan harinya, pagi-pagi sebelum jam 04.00 sang putri sudah bangun, ia mengenakan gaun putih yang paling mahal, kaus kaki putih, sepatu serta sarung tangan yang serba putih. Lalu ia berjalan menemui kakek itu, "Baiklah nak, sekarang saya persiapkan alat-alat untuk membuat cincinmu; sementara itu engkau boleh memilih embun yang engkau paling sukai, lalu bawa kemari."

Dengan senang hati sang putri berjalan-jalan mengelilingi taman Istana untuk mencari embun yang paling indah. Namun sudah lebih kurang dua jam masih belum ditemukan, sebab setiap embun yang dia ambil selalu menjadi air. Gaun indahnya sudah basah, kaus kakinya sudah kotor, sepatunya basah bahkan sarung tangannya sudah menjadi jorok.

Akhirnya sambil menangis sang putri berlari menuju kakek tua itu dan berkata: "Saya tidak mau lagi cincin itu."

Kakek tua itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, sementara Kaisar melihat dari lantai atas Istana sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ayat Alkitab :
I Yohanes 5:14. "Dan inilah keberanian percaya kita kepadaNya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu sesuai dengan kehendakNya." *** [Sahabat]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India