Selasa, 15 Maret 2011

Bersekutu, Ya! Tapi Beribadah???

 Introspeksi Ibadah Jemaat Protestan

ibadah protestan
"KAMI DATANG UNTUK MENYEMBAH DIA." (Matius 2:2c). Ini adalah pernyataan orang-orang Majus. Jauh-jauh dari Timur ke Yerusalem mencari bayi, Sang Juruselamat dunia, untuk menyembah Dia.

Demikian halnya IBADAH. Tujuan utama Ibadah, sama seperti yang dinyatakan oleh para Majus, yakni "UNTUK MENYEMBAH DIA". Teorinya demikan, tetapi apakah dalam prakteknya juga umumnya demikian?


SEBAGAI SEORANG PROTESTAN, saya akhirnya berpendapat bahwa tidaklah heran bila ada orang Kristen yang tidak se-denominasi mengeluarkan statement bahwa tidak ada Roh di dalam ibadah gereja Protestan. Saya kira pernyataan ini tidak berdefinisi gereja Protestan tidak punya Roh Kudus - sebab saya tahu yang berpendapat ini tidak sebodoh itu - , tetapi bahwa kondisi ibadah kita secara umum tampak seakan-akan tidak ber-Roh. Mengapa bisa demikian?

Dimulai dengan pertanyaan: Roh Kudus itu ada di mana? Di gedung, di jalan, di rumah atau? Roh Kudus itu ada di dalam orang percaya (a.l. Rm 8:11; Gal 4:6; 1 Yoh 4:4). Roh Kudus terasa dan terlihat kuasa-Nya tergantung pada pribadi-pribadi orang yang punya Roh Kudus itu sendiri, yakni apakah ia memberi dirinya dipimpin oleh Roh itu atau tidak (a.l. Rm 8: Gal 5). Jadi bukan Roh Kudus itu tidak ada, tetapi pribadi-pribadi yang beribadah inilah yang membuat Roh itu dirasakan seolah-olah tidak ada dalam suatu ibadah jemaat. Karena apa? Karena jemaat memang bersekutu, tetapi bisa "tidak beribadah"!

Dalam kehidupan warga gereja kata �koinonia� (???????a) adalah salah dari tri tugas panggilan gereja, yaitu : persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan (diakonia). Koinonia menunjuk kepada suatu hubungan antara pribadi satu dengan pribadi lainnya. Di dalamnya ada komitmen yang kuat, kesatuan, kebersamaan, tindakan bersama, partisipasi, kontribusi, keselarasan, keintiman, sharing, dsb. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bersekutu itu: ber�se�ku�tu v 1 berekanan (dng); berkawanan (dng); menggabungkan diri (dng); 2 berserikat (dng); menggabungkan diri (dng); 3 berkomplot; bersekongkol; 4 merupakan himpunan (persekutuan).

Baik bersekutu dalam koinonia (Yun) maupun dalam bahasa Indonesia intinya bicara soal hubungan (relationship) manusia satu dengan yang lainya. Ketika 'bersekutu' ini dibawa ke ibadah jemaat, maka yang berlaku adalah ibadah persekutuan orang-orang percaya dengan Tuhan, Pribadi-pribadi BERSEKUTU UNTUK MENYEMBAH TUHAN. Dengan demikian, ibadah bukan sekedar persekutuan orang-orang percaya, tetapi PERSEKUTUAN PENYEMBAH TUHAN. PENYEMBAHAN (worship) inilah yang memang harus kita pertanyakan kembali bila melihat bagaimana kita saat beribadah : sikap tubuh, sikap dan cara menyanyi, sikap dan cara membaca Alkitab, sikap dan cara kita mendengarkan uraian Firman Tuhan, sikap berdoa, dsb termasuk bagaimana para pelayan-pelayan mempersiapkan diri dan mengerjakan pelayanan yang saat itu dipercayakan kepadanya, dsb. 

Satu contoh, lihatlah bagaimana kita menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat : ada yang menyanyi dengan mata yang liar ke sana ke mari, ada yang menyanyi asal bunyi, bahkan ada yang tidak menyanyi, namun hanya melihat orang menyanyi. Lagu-lagu yang berjiwa Roh itu menjadi seakan-akan tidak ber-Roh karena orang-orang yang menyanyikannya TIDAK MENYANYI SEBAGAI PENYEMBAH, melainkan hanya sebagai pemenuhan salah satu unsur liturgi belaka. Akhirnya lagu-lagu seperti Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Nyanyian Baru, Nyanyian Rohani, Mazmur, dsb seakan-akan tidak menyentuh batin kita. Mengapa? Apakah lagu dan syairnyakah yang tidak bagus? Bukan! Tetapi karena kitalah yang menyanyikan lagu itu tidak sebagaimana seharusnya kita menyanyikannya.

Ini juga ditentukan oleh pemimpin ibadat. Jika pemimpin ibadat menyanyikan lagu tanpa menjiwai syairnya, maka itu sangat kuat mempengaruhi jemaat dalam bernyanyi. Bagaimana mungkin menuntut jemaat bernyanyi sebagai penyembah, sedangkan pemimpin ibadat sendiri tidak melakukan hal yang sama? Semua nyanyian yang namanya Nyanyian Rohani atau Nyanyian Jemaat atau Nyanyian Gerejawi bukanlah nyanyian untuk sedap-sedapan telinga dan perasaan. Bukan pula ucapan bibir belaka. Semua nyanyian itu bila dilantunkan oleh seorang percaya menjadi lantunan lagu seorang PENYEMBAH TUHAN. Maka bukan saja bibir dengan suara yang bernyanyi, tetapi juga seluruh JIWANYA, TUBUHNYA dan ROHNYA BERNYANYI. Tapi lihatlah bagaimana jemaat kita bernyanyi? Dimana mulut, dimana pikiran, dimana tangan ... masing-masing jalan sendiri. Mulut menyanyi, namun pikiran tidak di lagu, dan tangan mengutak-atik segala yang tidak pantas lagi diutak-atik pada saat beribadah.

Tetapi sayang sekali, ini seringkali tidak mendapat perhatian dari kita. Bahkan nyanyian jemaat yang berbait-bait itu jarang sekali dinyanyikan sepenuhnya. Seolah-olah nyanyian jemaat hanyalah selingan, bukan bagian utama dalam suatu ibadah. Nyanyian Jemaat yang seringkali dinyanyikan berbait-bait hanya pada unsur persembahan. Alasannya? Karena persembahan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Coba kalau di luar persembahan, lihat reaksi jemaat. Tidak semua menyelesaikannya dengan cara yang benar. Satu bait saja asal bunyi, apalagi lima bait???? Seperti tidak suka memuji Tuhan berlama-lama. Rata-rata 1 bait saja, itu cukup. Lebih dari itu, PROTES; "Terlalu panjang lagunya, harusnya 1 bait saja." Mengapa??? KARENA ia ada di situ untuk BERSEKUTU saja, BUKAN BERIBADAH!!!!! Kalau Anda benar-benar beribadah, pulang pun rasanya tidak ingin lagi, karena Anda menemukan keindahan beribadah, yakni bahwa ibadah adalah persekutuan dengan Tuhan, bukan persekutuan dengan manusia belaka.

Demikianlah kita cenderung tidak membawa diri kita ke dalam penyembahan itu. Kita bersekutu, tetapi kita tidak beribadah. Kita ada, tetapi kita tidak menyembah. Akhirnya, kekhusukan (kesungguhan) ibadah seakan jauh dari ibadah itu sendiri. Kegelisahan pun tak terelakkan. Kecenderungan kegelisahan itu juga begitu jelas bila suatu ibadah berlangsung lama. Menyanyi lama saja gelisah, apalagi saat berdoa. Ada yang tampak sungguh-sungguh, tapi ada pula yang mulai mencari sandaran untuk mengambil posisi nyaman. Lama kelamaan tampak seperti tidur. Ada yang berdoa sambil memangku kaki. Ada yang tidak berdoa melainkan memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Lebih parahnya lagi, saat berdoa dimanfaatkan untuk mengirim/membalas sms atau keluar untuk menelpon. Dan satu hal yang kalau dikategorikan sebagai penyakit berbahaya, yang satu ini sudah kanker stadium IV, yakni memandang DOA SYAFAAT sebagai "jam tidur sejenak" atau "jam istirahat" dengan memilih ke luar dari ruang ibadah untuk KE KAMAR KECIL atau MEROKOK, lalu masuk saat Doa Bapa Kami mulai diucapkan. Ironisnya, untuk Doa Bapa Kami itu ia ikut berdoa, tanpa merasa ada yang tidak benar dalam lakunya itu.

Inikah persekutuan yang menyembah itu? Maka Tuhan Yesus, Kepala Gereja, akhirnya berkata:
"(7) Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: (8) Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku." (Matius 15:7-8)

Ibadah Jemaat bukan media untuk saling berkumpul seperti perkumpulan umum dalam dunia. Kamus Bahasa Indonesia mendefenisikan ibadah itu adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Perjanjian Lama kata 'Ibadah' dari bahasa Ibrani : 'avoda' (?????) dan dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani umumnya adalah : latreia' (?at?e?a) memiliki arti kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan atau penghambaan dengan rasa takut penuh hormat, kekaguman, ketakjuban, penuh puja. Dalam bahasa Inggris : worship, adoration yang berarti pemujaan, penyembahan, cinta yang mendalam, cinta sejati. Maka IBADAH ADALAH AKU DAN TUHAN, kita dan Tuhan. Bukan : aku dan kau atau kita dan kita.

Yang tampak lebih menonjol di ibadah jemaat adalah aku dan kau, kita dan kita (bersekutu). Suatu pertemuan manusia percaya dan manusia percaya lainnya, anggota jemaat dan anggota jemaat lainnya. Ini menjadi salah satu pintu keikutsertaan status, kedudukan, jabatan seseorang ke dalam persekutuan sampai ke ibadah. 'Dibedakan' dan 'membedakan' hanya mungkin dalam tataran manusia dan manusia. Ketika seseoang memandang ibadah adalah dirinya dan Tuhan, maka ia akan dapat berkata "I'm nothing". Maka sikap, cara, ekspresi yang keluar dari dirinya akan dapat seperti Raja Daud yang sanggup dengan jujur memuliakan dan menyembah Tuhan tanpa harus menjaga "image" dirinya di hadapan manusia (2 Sam 6). Meski tidak menjiplak cara Daud sebab karakter manusia berbeda dan itu menimbulkan sikap, cara dan ekspresi yang berbeda-beda pula, namun kesungguhan seseorang beribadah pasti akan terlihat dengan mata manusia per karakter manusia itu masing-masing.


Bila gereja tidak memperhatikan hal ini, maka pertanyaannya adalah apa yang gereja cari dari ketatnya jadwal-jadwal ibadah jika ibadah itu lebih dibiarkan bersifat "bersekutu" saja dari pada "beribadah"? --**HEP**

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India