Senin, 14 November 2016

HARAM | Apa Kata Yesus Tentang Haram (Matius 15:10-20; Markus 7:14-22)


Matius 5:11 "Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang."

Markus 7:15 "Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." 

Tidak sedikit orang yang mengartikan perkataan Yesus ini secafa harfiah atau leksikal yakni hanya dengan melihat kata demi kata lalu mengartikan, bahwa 'haram' itu bila memakan sesuatu lalu memuntahkannya. Ini pemahaman yang keliru.

Petrus meminta Yesus menjelaskan perkataaan-Nya ini.
Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya" (Markus 7:18) 
"Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?" (Matius 15:17)
Makanan adalah salah satu kebutuhan pokok bagi tubuh jasmani manusia. Dimakan, masuk ke perut, mengalami proses pencernaan dan penyerapan untuk keperluan tubuh lalu ampasnya dikeluarkan menjadi kotoran yang dibuang di jamban. Selesai.

Makanan tidak menajiskan manusia.
"Karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban." (Markus 7:19a)
Makanan tidak mengubah hati manusia, yang tadinya berhati baik, namun karena makan sesuatu jenis makanan, hatinya langsung menjadi hati yang tidak baik, atau sebaliknya, yang berhati tidak baik tiba-tiba menjadi berhati baik sebagai efek makanan yang dimakannya. Singkatnya, MAKANAN TIDAK MENGUBAH AKHLAK BUDI PEKERTI ORANG YANG MEMAKANNYA.

Apakah seorang yang tadinya hidup benar di hadapan Tuhan tiba-tiba menjadi brutal dan jahat  akibat ia makan makanan yang diharamkan? Apakah karena makanan manusia menjadi pencuri, pezinah, pembunuh? Apakah karena makanan manusia menjadi pencaci, pemfitnah, pembohong?

Sifat, karakter, tabiat buruk manusia tidak disebabkan oleh makanan apapun juga yang dikonsumsinya, bahkan tidak bersumber dari makanan yang diharamkan sekalipun! Yang dapat mengharamkan manusia adalah HATI MANUSIA ITU SENDIRI.
"18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. 19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. 20 Itulah yang menajiskan orang." (Matius 15:18-20a)
Yesus menegaskan bahwa keharaman tidak berasal dari luar diri manusia, tetapi bersumber dari HATI manusia. Hati manusia itu sendirilah yang dapat menajiskan dirinya ketika hatinya memproduksi pikiran, perkataan dan perbuatan yang najis di mata Allah.
20 Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, 21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, 22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. 23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang." (Markus 7:20-23)
Jadi bukan karena makanan.
"Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal." (Markus 7:19a)

Maka datanglah murid-murid-Nya dan berkata kepada-Nya:
"Engkau tahu bahwa perkataan-Mu itu telah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi?" (Matius 15:12)
Pastilah akan jadi batu sandungan, karena umat Perjanjian Lama memiliki aturan tentang makanan haram (Imamat 11), dan kita tahu bahwa orang Farisi adalah orang-orang yang saleh dalam melaksanakan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat Yahudi.

Pernyataan Yesus ini pada satu sisi meniadakan aturan makanan haram itu terhadap murid-murid-Nya dan di sisi lain menempelak kesalehan orang Farisi yang bersifat lahiriah belaka. Penampilan kesalehan  melaksanaan aturan-aturan agama secara lahiriah belaka bagaikan arak-arakan "Fashion Show" yang begitu indah dan mengaggumkan. Namun apa kata Yesus?
7 "Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: 8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. 9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (Matius 15:7-9)
Sadar atau tidak, demonstrasi kesalehan lahiriah yang mereka tampilkan dengan bangga sebagai proklamasi diri orang suci dan benar, justru membuktikan bahwa MEREKA SUDAH TIDAK MAKAN MAKANAN HARAM TETAPI ITU TIDAK MENGHASILKAN KEKUDUSAN MULUT MEREKA, PIKIRAN MEREKA, PERBUATAN MEREKA.

Allah memberikan aturan makanan haram bagi umat-Nya di masa sebelum Kristus (Imamat 11) untuk mendidik umat-Nya menjadi umat yang TAAT dan KUDUS.
"44 Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi. 45 Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus." (Imamat 11:44-45)
TUJUAN ATURAN KEKUDUSAN ITU BUKAN PADA HEWAN YANG DIHARAMKAN ITU, TETAPI PADA ORANGNYA; PADA MANUSIANYA. Karena Allah adalah Kudus, maka umat-Nya pun harus kudus.

Itulah tujuan Allah dengan pengaturan tentang makanan haram ini, yakni lewat didikan hal makanan haram, umat-Nya menyadari bahwa Allah menginginkan ia kudus. Tapi sayang, yang dilihat dalam peraturan itu hanya HEWANNYA, bukan diri mereka sendiri. Mereka teliti dan cermat memeriksa kaharaman dan kekudusan makanan, sampai tidak punya waktu memeriksa keharaman dan kekudusan diri mereka sendiri. 

Peraturan Allah untuk mendidik umat-Nya hidup kudus lewat penetapan makanan haram ternyata tidak membuat mereka mengerti. Dibilang "hewan haram", mereka hanya lihat hewannya saja. Yesus pun berkata:
14 Biarkanlah mereka itu. Mereka orang buta yang menuntun orang buta. Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang." (Matius 15:14).

Hukum Hewan Haram itu dicabut Yesus dan tidak lagi berlaku bagi umat Perjanjian Baru, yakni orang yang percaya kepada Yesus:
13 "Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya." (Matius 15:13)
Di dalam Hukum Kasih, hal haram tidak lagi diarahkan kepada hewan, tetapi pada diri manusia itu sendiri, yakni langsung pada sasaran yang dimaksud oleh Allah, yaitu HATI. Bagaimana pikiran kita, bagaimana perkataan kita dan bagaimana perbuatan kita, semua bersumber dari hati. Hati yang tidak mengasihi Allah dan tidak mengasihi sesama manusia akan menghasilkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang juga tidak mengasihi Allah dan tidak mengasihi sesama manusia.
"Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu." (Amsal 27:19)
Tidak ada kaitan apapun dengan makanan. Makanan tidak memproduksi kebencian. Hatilah yang memproduksi pikiran, perkataan dan perbuatan membenci. Makanan tidak memproduksi kesetiaan. Kesetiaan adalah karya hati. Makanan sama sekali tidak mengubah hidup orang menjadi saleh, karena kesalehan yang hakiki hanya mungkin berasal dari hati yang takut akan Allah.

Jadi yang harus kita jaga adalah hati kita. Karena hati kita inilah yang dapat menajiskan diri kita. Jauh sebelumnya hikmat ini sudah diguratkan oleh Salomo:
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23).
Oleh Kristus kita dicelikkan dari kebutaan memahami maksud-Nya di masa sebelum Ia datang.

Akhirnya, tak ada makanan yang haram lagi bagi orang percaya.
"4 Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, 5 sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa." (1 Timotius 4:4-5)
Kalau toh ada makanan yang menjadi pantangan bukan karena itu haram, tetapi bisa karena alasan kesehatan.
"Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun." (1 Korintus 6:12)

Makanlah dengan menjaga hati. Makanlah dengan tidak membunuh, tidak mencuri, tidak mencaci maki, dan sebagainya. Kita tidak makan sekalipun, namun kita membunuh, mencuri, menipu, dsb, maka kita tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengenal Allah.
"Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih." (1 Yohanes 4:8).

-- HEP

Kamis, 10 November 2016

Cinta Engsel Pintu | Ilustrasi


CINTA itu bak "ENGSEL PINTU" yang menyatukan bingkai pintu dan daun pintu.



Bila sepasang insan yang menyatu karena cinta sudah mulai BERISIK, maka periksalah "engsel cinta", sepertinya sudah mulai "berkarat" ??. Jangan dibiarkan, karena akan makin berisik. Mau keluar rumah berisik, masuk rumah juga berisik ??.

Rawatlah dengan baik "engsel cinta", karena walau bingkai rusak dan/atau daun pintu rusak, selama engselnya terjaga baik, keduanya tetap dapat menyatu. Tapi kalau engselnya sudah rusak, cintanya rusak, mau ditempel pakai lem 'Fox', tidak bisa menyatu lagi, karena  ikatannya adalah cinta.
"Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan." (Kolose 3:14)

Kata 'kasih' pada ayat itu diterjemahkan dari kata Yunani: ???p? (agape). Bila cinta dua insan manusia secara fisik adalah cinta Eros, yakni cinta berdasar hawa nafsu, maka Agape berarti 'cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak ego, tanpa batas, tanpa syarat, total, tidak setengah hati, tulus dan berkorban. Cinta agape identik dengan kasih Tuhan terhadap ciptaan-Nya.

Itulah "engsel pintu" berkualitas, bahkan berkualitas sorgawi. Cinta kasih agape memiliki kekuatan mempersatukan bahkan menyempurnakan dari segala kelemahan dan kekurangan.

Milikilah dan rawatlah "engsel pintu" berkualitas sorgawi itu di dalam hati Anda dan pasangan Anda. Amin.-- ?????? -- HEP

Selasa, 08 November 2016

Hati Seluas Samudera


Hati seluas samudera ... ditimpa besi terbang pun tak retak. Tapi hati seluas gelas kaca, tersentuh sedikit, bisa retak bahkan pecah.


Kalau kita menyanyi "Inilah yang kupunya, hati sebagai hamba ...", maka hati seluas samuderalah yang kita punya, seperti hati Yesus: 
"Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil." (1 Petrus 2:23).

 -- HEP

Kekerasan Hati | Ilustrasi


KEKERASAN HATI itu seperti kerak gosong di panci/wajan. Makin ego, makin tebal keraknya dan mengeras. Kalau sudah seperti itu, tidak bisa lagi dibersihkan dengan penggosok dari bahan busa, melainkan harus memakai kawat penggosok.



Lembutkan hati agar dengan penggosok "busa" saja sudah cukup untuk membersihkan kita. Cukup dengan perkara-perkara lembut saja untuk mendidik kita.

Jangan buat Tuhan harus menggunakan "kumparan KAWAT penggosok" karena kekerasan hati kita sendiri. Itu akan tiba di hidup kita dalam bentuk "rasa sakit". Makin keras hati, makin sakit proses pembersihannya, karena harus digosok KUAT-KUAT, pakai "KAWAT" LAGI!!

Roma 2:5
"Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan."

?? -- HEP

Minggu, 06 November 2016

KAFIR -- Apa Kata Yesus Tentang Sebutan Kafir (Matius 5:21-22)


Matius 5:21-22
"Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala."



KAFIR dalam agama Yahudi adalah orang-orang bukan Yahudi (Bil 23:9). Kata ini ditempatkan dalam kerangka kebangsaan dan cara hidup spesifik orang Yahudi di bawah payung Hukum Taurat (Gal 2:14).

Cara pandang Yahudi terhadap bangsa lain dalam bingkai kebanggaan akan kekhususan diri sebagai bangsa pilihan Allah menjadikan kata 'kafir' dipakai dalam arti jelek, seperti terlihat dari kata 'kafir', yang dipakai Yesus mengambil istilah yang berlaku di kalangan Yahudi (Matius 5:22), yakni 'Rakha'. 'Rhaka' berasal dari kata Aram dan Ibrani yang berarti 'tidak punya guna apapun'. Bahkan 'kafir' dalam bahasa Aram dalam rumpun kata yang sama, yakni 'reqa' berarti 'bajingan' atau 'orang goblok'.

Hukum Taurat menampilkan dosa sebagai perbuatan yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga. Hukum Taurat sangat detil mengatur kehidupan lahiriah. Dalam Hukum Taurat, mata dan telinga manusia menjadi saksi Hukum Taurat. Seperti contoh yang diambil Yesus tentang ketegasan penegakan pelaksanaan Hukum Taurat, "Jangan membunuh" (Keluaran 20:13; Ulangan 5:17). Orang Yahudi yang tidak membunuh atau tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum yang termaktub dalam Hukum Taurat merasa aman dan BERSIH dari dosa.

Tapi apa kata Yesus?
"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala."
Kita tidak membunuh, tapi kalau kita mengatai orang dengan sebutan-sebutan kemarahan: 'Kafir!' atau 'Jahil!' atau kata-kata sebutan yang mengandung ejekan atau hinaan, misalnya 'Dasar pembunuh!', 'Pelacur!', 'Pencuri!', 'Bajingan!', 'Goblok!', dll, maka kita juga harus dihukum karena kata-kata itu.
"Masalahnya bukan sekedar soal membunuh, tapi juga soal kecenderungan hati ... Dalam jiwanya, ini merupakan pelanggaran yang sama besarnya dengan pembunuhan yang sebenarnya." (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Kafir, hlm. 492).
Demikianlah Yesus memberikan salah satu contoh penggenapan Hukum Taurat di dalam Hukum Perjanjian Baru, yakni Hukum Kasih. Hukum Kasih berdasarkan HATI. HATI YANG MENGASIHI, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia (Matius 22:37-40).

Mencaci 'Kafir!' atau 'Jahil!' atau segala sebutan cacian lainnya adalah perwujudan hati yang tidak mengasihi sesama manusia. Sebutan cacian juga adalah perwujudan klaim diri lebih benar dari orang yang dicaci, bahwa kamu begitu, saya tidak begitu; kamu berdosa, saya tidak. Pembenaran diri seperti ini, yakni dengan mengukur dosa orang lain tidak punya tempat dalam pembenaran Allah.

Pernyataan Yesus tentang larangan menyebut orang:"Kafir!" dalam kerangka kasih kepada sesama manusia diperjelas dalam pengajaran selanjutnya (Matius 5:23-26):
"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas."
-- Tidak ada gunanya beribadah bila ada hubungan yang tidak damai dengan orang lain, bahkan bila itu ada di hati saja, maka yang ada adalah kemunafikan, suatu bentuk pendustaan.
"Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya." (1 Yohanes 4:20-21)

Manusia hanya bisa melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat segalanya bahkan yang tak terlihat oleh manusia. Kita hanya tahu apa yang kita tahu, bahwa ia kafir, ia pembunuh, ia jahil, ia pelacur, ia pezinah, ia penjudi, ia pencuri, dll, tetapi kita tidak mengikuti hidup seseorang dari ia di dalam kandungan sampai ia menutup mata selamanya. Tuhanlah yang mengikutinya. Kita tidak tahu hati dan pikirannya sepanjang usia hidupnya, Tuhan yang punya pengetahuan itu. Dan harus pula kita sadari, bahwa kita tidak tahu hari esok kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri dan hidup kita di kemudian hari. Jangan-jangan kita justru berlaku dosa pula atau bahkan lebih buruk dari orang yang kita cela.

Timbangan baik buruk setiap orang ada pada Tuhan. Dan penilaian Tuhan bukan hanya pada satu titik "dosa", tapi pada seantero hidup anak manusia. Oleh sebab itu kita tidak diberi hak untuk menghakimi orang lain (Matius 7:1-5;  Lukas 6:37-38; 41-42). Ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus:
"Karena itu, hai manusia, siapa pun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama." (Roma 2:1).
Maka, teringatlah kita akan nasihat hikmat:
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Amsal 4:23)

Sebutan-sebutan seperti itu juga dapat menimbulkan rasa sedih dan sakit di hati. Beberapa orang akan menjawab bahwa perbuatan orang itu sudah lebih dahulu menyakitkan. Benar. Tetapi inilah Hukum Kasih bahwa rasa sakit tidak boleh dibalas dengan rasa sakit. Ini jelas dalam perkataan Yesus:
"Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu." (Lukas 6:29).
Intinya, jangan membalas, "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" (Roma 12:17). Demikianlah kasih.

Dalam prakteknya kasih tidaklah mudah, tapi harus menjadi target pencapaian orang percaya di dalam hidupnya. Orang yang mengerti hal ini atau orang yang hidup di dalam Hukum Kasih tidak akan berani menganggap diri lebih benar atau lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, orang Kristen Hukum Taurat akan menganggap diri sempurna karena tidak melakukan larangan yang termaktub dalam butir-butir Hukum Taurat, tetapi tidak menyadari bahwa ia telah melanggar Hukum Kasih.

Lalu bagaimana dengan sebutan 'Kafir!' yang kita dengarkan dari saudara-saudara sesama manusia kaum Muslim kepada orang Kristen? Ya, tidak apa-apa. Mereka memiliki paham itu.
"Menurut syariat Islam, manusia kafir yaitu: seorang yang mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad sebagai utusan-Nya", begitu yang saya baca di Wikipedia.
Lalu apa masalahnya buat kita? Itulah salib kita. Bersihkan hati kita saja. Bagaimanapun semua manusia adalah ciptaan Yang Mahakuasa. Benar tidak benar, baik buruk setiap insan manusia, catatannya ada pada sang Pencipta. Kita kerjakan saja apa yang diajarkan Yesus kepada kita:
"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:43-44).
Itulah bagian kita, yakni mengasihi mereka dan berdoa bagi mereka.

Tapi ingat, harus TULUS. Jangan munafik. Hati harus ikhlas. Dan juga jangan mengukur mereka. Kita tidak tahu hati, pikiran dan hidup mereka. JANGAN MENGAMBIL HAK TUHAN (Ulangan 32:35; Roma 12:19). Jangan berlaku SEOLAH TUHAN TIDAK TAHU APA YANG BAIK DAN APA YANG BURUK. Jangan berlaku seolah kita lebih tahu dari Tuhan. Dan jangan berlaku SEOLAH TUHAN TIDAK ADA, SEOLAH TUHAN TIDAK TAHU APA-APA.

Akhirnya, jangan mengatai orang: 'Kafir!' atau apapun yang bersifat mencela, menjelekkan, menghina, merendahkan, dsb. Dan jangan marah jika kita yang percaya kepada Yesus Kristus, disebut: 'Kafir!'.

Kebenaran Allah tidak perlu diperangkan. Karena peperangan manusia tidak akan mengubah kebenaran Allah sekalipun manusia kalah dalam peperangan itu. Kebenaran Allah adalah milik Allah. Diakui atau tidak, kebenaran Allah tetaplah kebenaran Allah. Dibolak balik, diplesetin, diplintir, diputar balik, atau diapapun oleh manusia, kebenaran Allah tetaplah kebenaran Allah, karena pada-Nyalah kebenaran itu. Dipalsukan sekalipun, Ia memiliki aslinya.

Manusia berasal dari Allah, bukan Allah berasal dari manusia. Bukan Allah baru menjadi ada karena kita. Ada ataupun tidak ada kita, Allah tetap ada. Percayalah dan percaya dirilah, maka kamu hanya akan tersenyum.

ALLAH ITU KASIH. There is no truth without LOVE.-- Shalom, HEP.

Minggu, 23 Oktober 2016

Bukuku | MENGEJAR HARTA TERPENDAM



Penerbit BPK Gunung Mulia, 162 Halaman, 14,5 x 21 cm. Harga : Rp. 60.000,- (diluar ongkos kirim).

Manusia adalah makhluk yang gampang beradaptasi. Ambillah contoh saat listrik padam. Pada awalnya, kita tidak akan melihat apa-apa karena keadaan gelap gulita. Sesaat kita akan diam terpaku. Namun, lama kelamaan mata kita mulai beradaptasi dengan kegelapan dan kita pun mulai dapat bergerak di dalam kegelapan itu.

Demikianlah halnya dengan dosa. Ketika pertama kali berbuat dosa kita akan merasa takut. Kedua kalinya, ketiga, keempat, dan seterusnya kita mulai merasa aman dan nyaman melakukannya. Bahkan mungkin tidak menyadari bahwa kita telah berbuat dosa.

Diterangi oleh firman Tuhan, "Mengejar Harta Terpendam" menjelaskan tentang orang bodoh:

  1. Orang yang tinggal di dalam dosa
  2. Orang yang menyimpan amarah dan membiarkannya meledak.
  3. Orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri.

Supaya kita tidak dalam golongan inj, penulis mengajak kita untuk semakin mendalami dan membaca Alkitab dengan tekun.

Oleh karena itu buku ini diberi judul "Mengejar Harta Terpendam" berdasar pada Amsal 2:1-6:

"Hai anakku, jikalau engkau menerima perkataanku dan menyimpan perintahku di dalam hatimu, sehingga telingamu memperhatikan hikmat, dan engkau mencenderungkan hatimu kepada kepandaian, ya, jikalau engkau berseru kepada pengertian, dan menujukan suaramu kepada kepandaian, jikalau engkau mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam, maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN dan mendapat pengenalan akan Allah. Karena TUHANlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian."--

Kontak Pemesanan:
engglinahp@yahoo.com

Hal Persembahan | Tulis Nama atau NN (No Name)?


Tanya:
Apa maksud hatimu menulis namamu di Sampul Persembahanmu?



Jawab:
untuk kepentingan data administrasi keuangan gereja.

Tanya:
Benarkah hanya untuk itu? Kalau nama Anda tidak tertulis dalam laporan keuangan atau tidak terbaca dalam warta jemaat, apa tanggapan Anda?

Jawab:
Saya akan menemui pengelola keuangan guna mengkonfirmasikan hal itu.

Tanya:
Mengapa Anda harus mengkonfirmasikan hal itu?

Jawab:
Guna kepentingan pertanggungjawaban mereka, sebab mereka hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan dalam pendataan / pewartaan.

Tanya:
Bagaimana pikiran Anda terhadap pihak pengelola saat nama Anda tidak tercantum / terwarta, apakah Anda mencurigai ada penyalahgunaan kepercayaan di situ.

Jawab:
Wah, saya tidak ada pikiran ke situ. Saya mengoreksi, bukan mencurigai.

Tanya:
Bagaimana rasa hati Anda saat nama dan persembahan Anda tidak tercantum / terwarta? Apakah Anda marah?

Jawab:
Tidak ada yang harus sampai ke hati saya karena itu. Itu hanya sampai di pikiran saya untuk maksud koreksi. Lalu apa dasarnya saya harus marah? Tujuan uang itu untuk Tuhan. Saya memberikan bukan untuk dilihat atau diketahui orang bahwa saya ada memberi atau bahwa jumlah pemberian saya besar. Saya memberi bukan untuk dipuji orang. Kalau pihak pengelola menyelewengkan kepercayaan Tuhan yang Ia berikan kepada mereka, mereka berurusan dengan Tuhan.

Tanya:
Sekali lagi saya bertanya, ketika nama dan persembahan Anda tidak tercantum / terwartakan, apakah Anda kecewa karena jemaat lain jadi tidak tahu bahwa Anda juga memberi bahkan pemberian Anda jumlahnya besar?

Jawab:
Kenapa mereka harus tahu? Uang itu bukan untuk mereka. Itu untuk Tuhan. Cukup saya dan Tuhan yang tahu. Yang memberi tahu kepada mereka adalah pengelola uang itu guna pertanggungjawaban mereka kepada Tuhan atas kepercayaan untuk itu. Memang itulah bagian mereka, bagian saya hanya MEMBERI.

Dari bentuk tanya jawab di atas kiranya jelas, bahwa HAL PERSEMBAHAN ADALAH HAL SIKAP HATI.

"Apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. " (Mat 6:2).

Perhatikan kata-kata: "Seperti orang munafik" .... " supaya mereka dipuji orang" = INVESTIGASI MOTIFASI MEMBERI. Peringatan ini untuk ORANG MUNAFIK, YANG MEMBERI SUPAYA DIPUJI ORANG.

Bila tidak munafik untuk dipuji, maka dicanangkan pun APA MASALAH? Tapi ada lagi pertanyaan: "Mengapa dicanangkan? Apa maksud Anda mencanangkan? --- TUNTAS sampai ke akarnya, yakni HATI. Harus benar-benar murni. Karena TUGAS MENCANANGKAN adalah TUGAS PENGELOLA, BUKAN PEMBERI.

Tapi kalau hatimu sendiri mau dicanangkan supaya orang dengar, dan saat dibacakan hatimu seperti terangkat tinggi, senang sekali dan bangga, maka kata Tuhan: "Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya." (Mat. 6:2). Apa upahnya? PUJIAN. Tidak ada upah dari Tuhan atas persembahanmu itu, karena kamu sudah terima tujuan dari pemberian persembahanmu itu, yakni DIPUJI ORANG.

Jadi haruskah NN?
TIDAK, kalau motivasi memberi persembahan itu murni. Karena ayat-ayat serupa ini di dalam Alkitab tidak menyuruh orang menutup data dengan mencantumkan "NN" pada sampul persembahan, tapi memurnikan hati dalam memberi.

Karena adalah tidak ada bedanya jika NN dengan terpaksa guna untuk supaya dianggap itulah yang BENAR, sementara hati masih menginginkan untuk sebaiknya diketahui orang. SAMA SAJA, karena UANG KITA TIBA DI PENGELOLA, HATI KITA TIBA TUHAN. Spt apa/bagaima ["p?? (pos) - dlm persembahan janda yang miskin - Mrk 12:41] hati tiba di Tuhan, itulah yang menjadi perhatian TUHAN.

Demikian.-- Shalom, HEP.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India