1 Samuel 13:5-14 --- 13:5 Adapun orang Filistin telah berkumpul untuk berperang melawan orang Israel. Dengan tiga ribu kereta, enam ribu orang pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki sebanyak pasir di tepi laut mereka bergerak maju dan berkemah di Mikhmas, di sebelah timur Bet-Awen. 13:6 Ketika dilihat orang-orang Israel, bahwa mereka terjepit -- sebab rakyat memang terdesak -- maka larilah rakyat bersembunyi di gua, keluk batu, bukit batu, liang batu dan perigi; 13:7 malah ada orang Ibrani yang menyeberangi arungan sungai Yordan menuju tanah Gad dan Gilead, sedang Saul masih di Gilgal dan seluruh rakyat mengikutinya dengan gemetar.13:8 Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. 13:9 Sebab itu Saul berkata: "Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu." Lalu ia mempersembahkan korban bakaran.
13:10 Baru saja ia habis mempersembahkan korban bakaran, maka tampaklah Samuel datang. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya. 13:11 Tetapi kata Samuel: "Apa yang telah kauperbuat?" Jawab Saul: "Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas, 13:12 maka pikirku: Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan TUHAN; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran."
Samuel meyuruh Saul lebih dahulu berangkat ke Gilgal dengan pesan agar Saul menunggu 7 hari sampai Samuel datang menemuinya di sana. Tetapi ketika 7 hari waktu yang ditetapkan itu Samuel belum datang juga, sementara orang Filistin telah siap menyerang orang Israel, ditambah kepanikan dari orang Israel, maka Saul mengambil langkah sendiri. Saul mempersembahkan korban bagi Allah tanpa Samuel. Baru saja selesai mempersembahkan korban, Samuel pun datang. Apa kata Samuel mengetahui apa yang baru saja dilakukan oleh Saul?
Di sini kita belajar satu hal yang terkandung dalam ketidaktaatan Saul, yakni KEPANIKAN.
Saul takut ditinggalkan oleh bangsanya sendiri. Kepanikan orang Israel menjadi kepanikan Saul. Saul memandang kekuatannya ada pada orang-orang Israel sehingga ketika mereka panik lalu meninggalkan Saul, Saul memandang itu sebagai bahaya bagi dirinya sendiri.
Dalam kepanikannya itu, Saul mengira telah mengambil langkah yang tepat, yakni mempersembahkan korban kepada TUHAN Allah dengan maksud memohon belas kasihan TUHAN. Justru dengan tindakannya itu nyatalah bahwa Saul menaruh andalan kepada kekuatan manusia bukan kepada TUHAN.
TUHAN Allah sudah memerintahkan Saul untuk menunggu Samuel datang guna menyampaikan apa yang harus ia lakukan. Kepanikan membuat Saul tidak lagi mengingat akan perkataan TUHAN kepadanya. Saul melihat keadaan yang dihadapinya seakan adalah penentu nasib hidupnya dan hidup bangsanya. Kepanikan memudarkan pandangan iman Saul akan kemahakuasaan TUHAN. Meski persembahan korban yang dilakukan sendiri oleh Saul itu bertujuan mulia yakni meminta belas kasihan TUHAN, namun semangat mengajukan permohonan itu berakar pada ketidakpercayaan Saul akan perkataan TUHAN kepadanya.
Bukankah demikian juga ada pada diri kita di kekinian? Perhatikanlah bagaimana kepanikan oleh suatu peristiwa membuat manusia-manusia bergerak atau bertindak dengan gelagat bagaikan orang tak ber-Tuhan. Menjerit-jerit "Tuhan, tolonglah kami". Terdengar jeritan-jeritan itu begitu religius, tetapi Ia, Tuhan yang kepada-Nya seruan itu ditujukan, mendapati ketidakpercayaan di dalam jeritan histeris itu. Jeritan-jeritan penuh kata-kata 'Tuhan' memilukan hati TUHAN, karena dalam kata 'Tuhan' itu justru Ia kehilangan kuasa-Nya di mata orang yang berseru-seru panik itu. Keadaan atau situasi atau kondisi dari suatu peristiwa telah terlihat begitu berkuasa atas hidup orang-orang yang panik seakan-akan keadaan itu sendiri menentukan mati dan hidup manusia. Semua perkataan Firman Tuhan seolah tidak pernah tersampaikan kepada mereka.
Benar, bahwa dalam keadaan darurat setiap manusia akan melakukan upaya penyelamatan dirinya. Tuhan Yesus juga berkata kepada murid-murid-Nya: "Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain." (Matius 10:23a). Tapi upaya penyelamatan diri yang dianjurkan Yesus ini tidak atas dasar kepanikan bahkan tidak bermotivasi penyelamatan diri murid-murid-Nya itu sendiri, melainkan, Yesus melanjutkan, "karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang." (Mat 10:23b). "Larilah ke kota lain", lalu Yesus lanjutkan "sebelum kamu selesai MENGUNJUNGI kota-kota Israel", artinya apa? Selagi masih dapat melarikan diri dari suatu penganiayaan, larilah, lari untuk mengabarkan Injil Kristus di kota-kota lainnya. Lari bukan karena panik atau takut mati, tetapi lari untuk ada lagi di kota lain guna memberitakan Injil Keselamatan di kota di mana mereka tuju. Lari bukan karena ketidakpercayaan akan kemahakuasaan TUHAN, apalagi lari karena takut mati, melainkan lari karena tanggung jawab untuk terus menjadi pemberita-pemberita Injil Kristus selagi hidup itu masih diperkenankan oleh Tuhan kepada mereka. Lalu apakah kepanikan anak-anak Tuhan dalam berbagai kejadian atau peristiwa adalah seperti yang dimaksudkan Tuhan Yesus ini?
Jujurlah kita mengakui, upaya penyelamatan diri kita dari setiap kejadian atau peristiwa hampir sebagian besar tidaklah beda sebagaimana yang dilakukan Saul. Suatu peristiwa atau kejadian itu seakan begitu besar dan menakutkan seolah-olah berkuasa atas tubuh, jiwa dan roh kita. Firman Tuhan tidak punya tempat lagi dalam kepanikan. Doa mengalir dari bibir yang gemetar ketakutan, bukan dari hati yang percaya. Takut untuk mati begitu kuat mengikat rasa hati manusia. Ingatan akan diri sendiri, anak-anak, suami, isteri, harta benda, orang tua bercampur aduk di pikiran. Ketidaksiapan meninggalkan dunia mengesan kuat karena kepentingan diri sendiri, bukan untuk suatu tujuan kemuliaan bagi nama Tuhan. Dunia menjadi begitu berarti, bukan karena kita ingin bertahan karena Tuhan, melainkan untuk diri kita sendiri.
Kita tidak pernah tahu rencana TUHAN atas hidup kita. Kepanikan dapat mengecewakan TUHAN karena kepanikan mengindikasikan ketidakpercayaan kita kepada-Nya, dan bisa saja seperti Saul, ini mengubah masa depan kita yang sedianya sudah dirancangkan-Nya bagi kita. Bagi saya bukan ini yang penting, melainkan bahwa suatu peristiwa atau kejadian justru dipakai TUHAN untuk melihat hati yang percaya kepada-Nya. Tetaplah tenang dan berdoa, agar dengan hikmat-Nya kita dituntun kepada keselamatan yang dikenan-Nya. Momen-moment menegangkan adalah kesempatan bagi kita untuk membuat Ia bahagia, bahwa Ia masih mendapati kepercayaan di hati kita kepada-Nya. Semoga.--**HEP**
I Samuel 13:13 Kata Samuel kepada Saul: "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; sebab sedianya TUHAN mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. 13:14 Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu."Sedianya TUHAN Allah punya rancangan yang indah buat Saul, tetapi oleh ketidataatan Saul terhadap perintah TUHAN melalui nabi Samuel, maka pemerintahan Saul atas Israel pun segera akan berakhir, sebab oleh ketidaktaatannya, TUHAN telah memilih seseorang yang akan menggantikan dirinya, yang tak lain adalah Daud.
Di sini kita belajar satu hal yang terkandung dalam ketidaktaatan Saul, yakni KEPANIKAN.
Saul takut ditinggalkan oleh bangsanya sendiri. Kepanikan orang Israel menjadi kepanikan Saul. Saul memandang kekuatannya ada pada orang-orang Israel sehingga ketika mereka panik lalu meninggalkan Saul, Saul memandang itu sebagai bahaya bagi dirinya sendiri.
Dalam kepanikannya itu, Saul mengira telah mengambil langkah yang tepat, yakni mempersembahkan korban kepada TUHAN Allah dengan maksud memohon belas kasihan TUHAN. Justru dengan tindakannya itu nyatalah bahwa Saul menaruh andalan kepada kekuatan manusia bukan kepada TUHAN.
TUHAN Allah sudah memerintahkan Saul untuk menunggu Samuel datang guna menyampaikan apa yang harus ia lakukan. Kepanikan membuat Saul tidak lagi mengingat akan perkataan TUHAN kepadanya. Saul melihat keadaan yang dihadapinya seakan adalah penentu nasib hidupnya dan hidup bangsanya. Kepanikan memudarkan pandangan iman Saul akan kemahakuasaan TUHAN. Meski persembahan korban yang dilakukan sendiri oleh Saul itu bertujuan mulia yakni meminta belas kasihan TUHAN, namun semangat mengajukan permohonan itu berakar pada ketidakpercayaan Saul akan perkataan TUHAN kepadanya.
Bukankah demikian juga ada pada diri kita di kekinian? Perhatikanlah bagaimana kepanikan oleh suatu peristiwa membuat manusia-manusia bergerak atau bertindak dengan gelagat bagaikan orang tak ber-Tuhan. Menjerit-jerit "Tuhan, tolonglah kami". Terdengar jeritan-jeritan itu begitu religius, tetapi Ia, Tuhan yang kepada-Nya seruan itu ditujukan, mendapati ketidakpercayaan di dalam jeritan histeris itu. Jeritan-jeritan penuh kata-kata 'Tuhan' memilukan hati TUHAN, karena dalam kata 'Tuhan' itu justru Ia kehilangan kuasa-Nya di mata orang yang berseru-seru panik itu. Keadaan atau situasi atau kondisi dari suatu peristiwa telah terlihat begitu berkuasa atas hidup orang-orang yang panik seakan-akan keadaan itu sendiri menentukan mati dan hidup manusia. Semua perkataan Firman Tuhan seolah tidak pernah tersampaikan kepada mereka.
Benar, bahwa dalam keadaan darurat setiap manusia akan melakukan upaya penyelamatan dirinya. Tuhan Yesus juga berkata kepada murid-murid-Nya: "Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain." (Matius 10:23a). Tapi upaya penyelamatan diri yang dianjurkan Yesus ini tidak atas dasar kepanikan bahkan tidak bermotivasi penyelamatan diri murid-murid-Nya itu sendiri, melainkan, Yesus melanjutkan, "karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang." (Mat 10:23b). "Larilah ke kota lain", lalu Yesus lanjutkan "sebelum kamu selesai MENGUNJUNGI kota-kota Israel", artinya apa? Selagi masih dapat melarikan diri dari suatu penganiayaan, larilah, lari untuk mengabarkan Injil Kristus di kota-kota lainnya. Lari bukan karena panik atau takut mati, tetapi lari untuk ada lagi di kota lain guna memberitakan Injil Keselamatan di kota di mana mereka tuju. Lari bukan karena ketidakpercayaan akan kemahakuasaan TUHAN, apalagi lari karena takut mati, melainkan lari karena tanggung jawab untuk terus menjadi pemberita-pemberita Injil Kristus selagi hidup itu masih diperkenankan oleh Tuhan kepada mereka. Lalu apakah kepanikan anak-anak Tuhan dalam berbagai kejadian atau peristiwa adalah seperti yang dimaksudkan Tuhan Yesus ini?
Jujurlah kita mengakui, upaya penyelamatan diri kita dari setiap kejadian atau peristiwa hampir sebagian besar tidaklah beda sebagaimana yang dilakukan Saul. Suatu peristiwa atau kejadian itu seakan begitu besar dan menakutkan seolah-olah berkuasa atas tubuh, jiwa dan roh kita. Firman Tuhan tidak punya tempat lagi dalam kepanikan. Doa mengalir dari bibir yang gemetar ketakutan, bukan dari hati yang percaya. Takut untuk mati begitu kuat mengikat rasa hati manusia. Ingatan akan diri sendiri, anak-anak, suami, isteri, harta benda, orang tua bercampur aduk di pikiran. Ketidaksiapan meninggalkan dunia mengesan kuat karena kepentingan diri sendiri, bukan untuk suatu tujuan kemuliaan bagi nama Tuhan. Dunia menjadi begitu berarti, bukan karena kita ingin bertahan karena Tuhan, melainkan untuk diri kita sendiri.
Tahun 2007 gempa mengguncang kota Manado, listrik padam, isu tsunami menggeger. Pada saat itu saya sedang berdiri di mimbar gereja di ibadat malam. Saya tidak menghentikan jalannya ibadat itu, bahkan tak ada satu bagian pun saya lewati. Satu dua lilin dinyalakan oleh rekan-rekan pelayan yang bertugas malam itu. Ibadat terus berlanjut sementara gedung gereja kerap berguncang kuat. Apa yang terjadi saudara? Di luar para orang tua yang anak-anaknya sedang mengikuti ibadat mengumpat, entah siapa yang mereka umpat, karena ibadat tidak dihentikan, sementara orang sudah berlarian ke luar rumah menyelamatkan diri. Mereka mau supaya penyembahan kepada TUHAN Allah di dalam Yesus Kristus, Juruselamat Dunia, DIHENTIKAN karena mereka menganggap itu akan membahayakan anak-anaknya yang sedang menyembah kepada-Nya itu. Tetapi mereka kecewa, sebab terpujilah Tuhan, tak satu pun mereka yang beribadat malam itu berhenti menyembah (meninggalkan gedung gereja). Dan sampai hari ini anak-anak mereka dan kami yang beribadat di malam itu masih hidup. Namun dengan ini pula nyatalah bagi kita, ibadat tidak selalu dipandang sebagai penyembahan dan orang Kristen tidak selalu berarti orang PERCAYA.Semua itu ada dalam kepanikan. Sebab upaya penyelamatan diri atas percaya akan jauh lebih tampak dari orang-orang yang tidak panik, melainkan tenang.
1 Petrus 4:7 Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.Ketenangan, itulah lawan kepanikan. Ketenangan membuat pikiran kita bekerja dengan lebih baik sehingga langkah-langkah penyelamatan diri pun akan memiliki dasar-dasar pertimbangan. Ketenangan memberi ruang bagi hati kita dan hati Allah. Ketenangan memberi waktu bagi kita untuk berseru kepada Tuhan dengan pikiran yang mengingat akan janji-janji Tuhan dan mengaminkan kehendak Tuhan berlaku dalam hidup kita. Berdoa dalam kepanikan adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan, sedangkan berdoa dalam ketenangan adalah menyerahkan hidup kita kepada kehendak-Nya. Berdoa dalam kepanikan adalah mempertanyakan kemahakuasaan TUHAN, sedangkan berdoa dalam ketenangan mengaminkan kemahakuasaan TUHAN atas kita. Ketenangan memberi ruang bagi ungkapan permohonan dalam kepercayaan yang masih terjaga di hati kita dan "dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu" (Yesaya 30:15c).
Kita tidak pernah tahu rencana TUHAN atas hidup kita. Kepanikan dapat mengecewakan TUHAN karena kepanikan mengindikasikan ketidakpercayaan kita kepada-Nya, dan bisa saja seperti Saul, ini mengubah masa depan kita yang sedianya sudah dirancangkan-Nya bagi kita. Bagi saya bukan ini yang penting, melainkan bahwa suatu peristiwa atau kejadian justru dipakai TUHAN untuk melihat hati yang percaya kepada-Nya. Tetaplah tenang dan berdoa, agar dengan hikmat-Nya kita dituntun kepada keselamatan yang dikenan-Nya. Momen-moment menegangkan adalah kesempatan bagi kita untuk membuat Ia bahagia, bahwa Ia masih mendapati kepercayaan di hati kita kepada-Nya. Semoga.--**HEP**