Selasa, 22 Maret 2011

Pakaian Jabatan Gerejawi

Kebanyakan gereja-gereja Kristen di Indonesia mengenal semacam Pakaian Jabatan, yang mereka ambil-alih dari Gereja-gereja partner mereka di Barat. Bentuknya hampir sama semacam toga (= gaun) hitam, yang dipakai dengan �bef� (dasi putih) dan dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Fungsinya tidak begitu jelas. Tetapi dalam praktik Gereja-gereja ini, secara sadar atau tidak sadar menganggapnya sebagai Pakaian Jabatan atau Pakaian Liturgis resmi. Oleh karenanya, setiap orang yang memangku jabatan gerejawi harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken yang umumnya dianggap �kurang setara� dengan Pendeta dibebaskan dari kewajiban di atas. Pakaian Jabatan ini telah lazim dalam Gereja-gereja Kristen Katolik dan Kristen Protestan Reformasi, sehingga tidak dirasakan lagi sebagai barang/tradisi asing diimpor dari Barat.
A. Jemaat-jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan
Jemaat Perjanjian Baru tidak mengenal Pakaian Jabatan. Pelayanan-pelayanan khusus pada waktu itu memakai pakaian-pakaian biasa, seperti yang dipakai oleh anggota jemaat awam, yaitu pakaian Yahudi, pakaian Romawi dan pakaian Yunani.

Pada tahun 380 agama Kristen resmi menjadi Agama Negara. Kaisar Theodosius mengangkat para Klerus (Pejabat Gerejawi pada saat itu) setara dengan Pejabat Pemerintahan. Mereka mendapat fasilitas istana, pakaian jabatan, tongkat, cincin dan tanda kebesaran lain. Dalam ibadah, mereka memakai pakaian khusus (= pakaian liturgis ), yang berbeda dengan pakaian anggota jemaat yang lain. Pakaian khusus ini kemudian berkembang menjadi Pakaian Jabatan Gerejawi yang indah dan mewah, seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh para Klerus dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Yunani.

Bentuknya berbeda-beda, yang satu lebih indah dan lebih mewah daripada yang lain. Juga jumlahnya tidak sama. Untuk perayaan Ekaristi umpamanya, Imam Gereja Ortodoks Yunani lebih banyak memakai �pakaian liturgis� daripada Imam Gereja Katolik. Semuanya tidak dapat dibahas di sini. Sebagai contoh, Pakaian Jabatan dalam Gereja Katolik terdiri dari �amictus� (= kain bahu dari lenan, dihiasi dengan salib yang disulam dan diikatkan pada dada, di atas gaun-missa yang sebenarnya), �alba� (= kemeja dari lenan, panjangnya sampai di kaki), �stola� (= pita lebar yang dipakai di atas alba, panjangnya sampai ke lutut), �manipulus� (= pita sutera, tidak begitu lebar, digantungkan pada tangan kiri), �pluviale� (= gaun prosesi gerejawi, dahulu hanya dipakai oleh para Klerus rendah, kemudian juga oleh Klerus tinggi) dan �vesti sacerdotalis� (= gaun missa yang sebenarnya)/toga.

B. Para Reformator menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini
Para Reformator (Luther dan Zwingli) menentang keberadaan Pakaian Jabatan ini, karena ia berhubungan erat dengan missa Gereja Katolik. Menurut mereka, Pakaian Jabatan an sich (pada dirinya sendiri tidak memiliki arti.

Sesuai dengan itu, Martin Luther (pada tahun 1524) menasihatkan supaya pejabat-pejabat gerejawi menjauhkan diri dari pakaian-pakaian indah dan mewah dan supaya mereka jangan menganggap pakaian yang mereka pakai lebih suci dari pada pakaian biasa yang lain. Luther berkata, bahwa Tuhan tidak lebih berkenan kepada Pejabat Gerejawi yang berpakaian jabatan daripada Pejabat Gerejawi yang tidak memakai pakaian jabatan.

Sikap Luther dan pemimpin-peminpin yang lain pada masa itu tentang pakaian jabatan tidak begitu radikal. Sampai dengan tahun 1536 pelayanan Perjamuan Kudus tetap dilaksanakan dengan mengenakan Pakaian Jabatan ala Katolik. Tetapi Luther beranggapan, bahwa �lelucon yang suci� itu lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya.

Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.

Akhirnya, pada pertengahan abad ke-17 penggunaan Pakaian Jabatan dalam Gereja Protestan telah habis sama sekali. Tetapi masalah baru timbul tatkala disadari banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih �duniawi� dan �gila mode� daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan Pakaian Jabatan Resmi bagi para Pendetanya.

Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia. Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga hitam.

C. Pakaian Jabatan : Suatu Tinjauan Kritis-Teologis
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut beragam. Pada abad pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila kemudian ada toga sebagai Pakaian Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu, mengenakan toga.

Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana dan Magistrant, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper. Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian. Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para Pendeta.

Menururt Faber, persoalan Pakaian Jabatan kurang ditinjau dari sudut pandang Teologis. Menurutnya, Pakaian Jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan. Tetapi, penyia-penyiaan Pakaian Jabatan dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya diselidiki. Menurut Faber, reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.

Menurut Faber, pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai �jabatan�, tidak dapat membebaskan dirinya dari Pakaian Jabatan. Dari sinilah Calvin merekomendasikan warna hitam untuk toga. Tetapi tepatkah warna hitam untuk Pakaian Jabatan Gerejawi?

D. Pakaian Jabatan : Apa Warna Yang Paling Teologis?
Benarkah secara teologis, Pakaian Jabatan berwarna hitam? Bukankah warna hitam menyebabkan Perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka? Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan? Apakah Toga hitam cukup menginsafkan Gereja-gereja kita akan sifatnya yang rohani? Tentu tidak. Warna hitam saja telah membuat kita agak takut. Lain dari pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana dan Magistrat. Ia adalah pakaian akademis yang telah masuk ke dalam gereja, karena ia dianggap gagah. Toga hitam yang adalah pakaian hakim telah menyebabkan ibadah Minggu terkesan sebagai ruang pengadilan, dan bukannya ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun.

Dengan demikian, warna hitam tidak cocok untuk Pakaian Jabatan. Memang kotbah adalah uraian ilmiah (akademis-ilmiah) tapi paling maksimal ia hanya dapat dipertahankan untuk pemberitaan Firman. Tidak cocok untuk pelayanan Sakramen. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti dengan warna lain. Misalnya putih, merah muda atau ungu.

E. Pakaian Jabatan : Bagaimana dengan Penatua dan Diaken?
Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja: Pendeta dengan toga lengkap, Penatua dengan toga setangah lengkap dan Diaken dengan toga seperempat lengkap. Karena itu, perlu dibuatkan juga pakaian jabatan untuk Penatua dan Diaken. *** [Ribas FM]

Sumber : Artikel Simbol-Simbol Liturgi

SHALOM
GOD BLESS YOU

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India