Seperti biasa di hari Minggu yang kunantikan, berjalanlah aku menuju ke rumah-Nya. "Selamat pagi", demikian jemaat saling menyapa di pelataran gedung gereja yang kian hari kian bertambah megah. Di sisi kanan pintu gereja, seorang bapak tua berbaju sungguh dekil berdiri menyandar ke tembok. Topi 'koboi' tua menutupi wajahnya. Celana panjang yang dikenakannya tampak sesak baginya. Sepatunya .... ah, biasalah .... , orang-orang serupa bapak ini ada di mana-mana. Mereka hanya orang-orang malas yang tidak mau berjuang keras untuk hidup. Kerja mereka hanya menanti belas kasihan orang. Berharap apa ia di sini? Pikiranku membedah hidup orang itu seiring langkah kakiku memasuki gedung gereja. Tak ada yang menyapa orang itu. Aku pun tidak.
Lonceng berbunyi. Kami serentak berdiri. Satu kidung pujian melantun di bibir kami dan ...... hei, bapak tua yang tadi berdiri di dekat pintu gereja itu berjalan masuk ke arah mimbar. Mau apa dia? Semua mata memandangnya. Ia naik ke mimbar, melepaskan topinya dan haahh???? Bapak Pendeta! Beliau adalah Pendeta Tua di gereja ini. Apa maksud beliau?
Lonceng berbunyi. Kami serentak berdiri. Satu kidung pujian melantun di bibir kami dan ...... hei, bapak tua yang tadi berdiri di dekat pintu gereja itu berjalan masuk ke arah mimbar. Mau apa dia? Semua mata memandangnya. Ia naik ke mimbar, melepaskan topinya dan haahh???? Bapak Pendeta! Beliau adalah Pendeta Tua di gereja ini. Apa maksud beliau?
Kidung pujian telah berakhir. Semua diam terpaku bukan seperti biasanya, melainkan terpaku memandang beliau. Dan beliau pun berbicara, "Haruskah aku memakai jubah seorang Pendeta untuk membuktikan bahwa aku adalah seorang Pendeta? Tidak. Demikian pula, haruskah seseorang membuktikan kepada kita terlebih dahulu bahwa ia memang layak untuk dikasihani supaya kita dapat mengasihani dia? ... "
Semula aku tidak mengerti dengan ucapan beliau ini. Tapi kini aku mengerti. Di kota kami ini banyak ditemui orang-orang serupa penampilan bapak Pendeta ketika itu. Entah benar atau tidak, banyak orang berkata bahwa mereka hanyalah para penipu. Mereka hanyalah orang-orang malas yang hanya ingin melanjutkan hidup dari hasil kerja orang lain (sedekah). Dan itu pikiranku pula. Pemikiran ini justru membuatku berhenti untuk perduli. Tanpa aku sadari, aku telah membuat suatu aturan untuk sebuah kasih, bahwa kasihku hanya akan berlaku terhadap orang yang dapat membuktikan bahwa ia layak menerima kasihku. Kasih menjadi rumit, memerlukan kajian dan pembuktian. Dan aku telah keliru. Kewajibanku kepada sesama adalah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat 22:39). Hanya "mengasihi" bukan "menilai" orang yang harus aku kasih.
Kini kasihku beroleh ruangnya dalam hidupku. Kota ini tetap dipenuhi dengan orang-orang dengan penampilan tak berpunya. Tapi kini aku tidak lagi memandang mereka seperti dulu aku pernah memandangnya. Kini mereka semua layak untuk aku kasihi. Mereka menipu atau tidak, mereka malas ataupun tidak, itu bukan bagianku. Itu bagian Tuhan. Bagianku adalah mengasihi mereka dengan kasih yang tulus. Tidak selalu aku memiliki sesuatu benda untuk aku berikan kepada mereka. Tetapi aku selalu punya kasih yang tidak lagi berbatas bagi mereka. Aku punya senyum untuk menghangatkan jiwa mereka. Aku punya salam "Selamat pagi/siang/malam" menyapa hari-hari hidup mereka. Aku punya tangan yang tak jijik menyentuh pundak mereka. Ah, tak pernah aku sebahagia ini. Ternyata, kasih membuatku berarti bagi orang lain. Terimakasih Tuhan.--**HEP**
0 komentar:
Posting Komentar